Peran Domestik Perempuan; antara Teori dan Praktik
Wilayah domestik perempuan, merupakan wacana lama. Namun, pembicaraan tentang ini serasa tak pernah habis. Peran domestik perempuan dalam Islam, tentu bersandar dari sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadist nabi. Namun, interpretasi terhadapnya tak pernah tunggal. Ia berada dalam ketegangan antara teori normatif agama dan praktik sosial-kultural, yang tak jarang sering dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkhis.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana interaksi Ummahatul Mu’minin bersama Rasulullah S.A.W, dalam berbagai kisah dan riwayat. Utamanya interaksi beliau dengan Sayyidah Khadijah R.A serta Sayyidah ‘Aisyah R.A.
Setiap kali Rasulullah S.A.W hendak berangkat ke Gua Hira’, Sayyidah Khadijah dengan matang dan mantap menyiapkan bekal secukupnya. Tak hanya di situ. Selama Rasulullah berada dalam Gua, Sayyidah Khadijah juga berada dalam siaga. Gundah gulana, hingga beliau datang dari uzlah, menyambutnya penuh suka-cita. Mendengarkan setiap jengkal kata, dan menyiapkan apapun yang beliau minta. Hingga peristiwa di akhir Ramadhan 610 M, ketika wahyu pertama turun mengubah segalanya.
Sayyidah Khadijah merupakan saudagar. Perannya sebagai istri, ibu tak pernah ia lupakan. Beliau tetap menjalankan peran utama, sembari berkiprah sangat baik dalam kancah publik.
Dalam hadist Bukhori, diriwayatkan bahwa Sayyidah ‘Aisyah ditanya tentang peran Rasulullah dalam keluarga, Sayyidah ‘Aisyah menjawab : beliau membantu pekerjaan keluarganya, lalu jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk shalat. (Hadist Bukhori no. 676).
Secara umum peran domestik perempuan tertuang dalam tiga pilar utama: pertama sebagai seorang istri, kedua sebagai seorang ibu. Ketiga sosial (publik). Dua peran pertama, merupakan karakteristik utama dan pertama. Namun, di ranah ketiga sebagai makhluk sosial, perempuan juga memiliki peran-serta aktif memajukan sebuah komunitas. Bukankah komunitas terkecil itu adalah keluarga? Ketika peran pertama dan kedua efektif, maka peran ketiga otomatis akan berjalan baik, dan memberikan kontribusi positif.
Dwi Fungsi Keluarga
Keluarga pada mulanya adalah sebuah klaster kecil. Ia terbentuk dari ikatan dua insan dalam sebuah mahligai bernama pernikahan. Dalam bahasa Alqur’an ikatan tersebut disebut “mitsaqon ghalidza”(Q.S:4:21). Dengan ikatan perjanjian kuat inilah, bahtera pernikahan akan terus mengarungi lautan kebidupan berbekal mawaddah dan rahmah. Dengan kedua bekal tersebut, maka “rumah” yang tenang dan damai menjadi niscaya (Q.S:30:21).
Secara garis besar, ada dua fungsi utama keluarga yang sangat penting dan menentukan bagi baik-buruknya individu dan masyarakat bangsa, yaitu:
1. Fungsi Internal
Peran dan fungsi keluarga di sektor ini merupakan peran pendidikan dan pengajaran, dimana perkembangan hidup setiap individu, terutama anak-anak, sangat ditentukan oleh berfungsi tidaknya keluarga sebagai pusat pendidikan pertama bagi mereka. Suasana kehidupan di keluarga sangat menentukan hitam-putihnya perjalaman hidup mereka di kemudian hari. Apabila keluarga mampu menjalankan fungsi pendidikan ini dengan baik dan benar, insya Allah akan lahir Generasi-genarasi rabbani seperti yang diharapkan. Sebaliknya, apabila keluarga tidak mampu menjalankan fungsinya, maka akan muncul generasi-genarasi yang lemah dalam berbagai aspek, generasi yang rusak, bahkan merusak.
1. Fungsi Eksternal.
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat. Apabila unit-unit keluarga dalam masyarakat baik dan berfungsi dengan benar, maka masyarakatpun akan baik. Sebaliknya, apabila ada satu saja dari unit-unit keluarga di masyarakat yang rusak dan tidak fungsional, maka masyarakat pun secara keseluruhan pasti akan merasakan dampak-dampak negatifnya. Apalagi kalau sampai seluruh unit keluraga di dalamnya.rusak atau tidak berfungsi senbagai mana mestinya.
Dwi fungsi keluarga ini, keduanya akan bermuara dalam membentuk keluarga yang rahmah dan barokah sebagaimana disebutkan dalam Surat Hud ayat 73:
قَالُوْٓا اَتَعْجَبِيْنَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ اِنَّهٗ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ ٧٣
Artinya : Mereka berkata: “apakah enkau merasa heran tentang ketetapan Allah? Rahmat Allah dan keberkahan-keberkahan-Nya dicurahkan atas kamu, Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Q.S. Huud: 73)
Keluarga Fungsional
Dalam konteks fungsional keluarga. Dalam hal ini peranserta aktif suami-istri tak bisa dipisahkan. Kerjasama kolektif ini merupakan hal selaras sejak dalam pikiran dan bersinergi dalam perbuatan. berfungsi atau tidaknya suami istri dalam sebuah keluarga, paling tidak, kita bisa mengelompokkan keluarga menjadi empat jenis.
Di dalam Al-Quran pun disebutkan beberapa contoh dari masing-masing keempat jenis keluarga tersebut, yaitu:
Pertama, adalah profil dari keluarga yang “suami dan istri” di dalamnya sama-sama fungsional (sholeh dan berakhlak baik). Salah satu contoh dari jenis keluarga ini adalah keluarga Nabi Ibrohim a.s.(Q.S: Huud 71-73).
Kedua, merupakan sosok keluarga yang istrinya fungsional (sholehah dan berakhlak baik), tapi suami tidak fungsional (jahat dan berakhlaq buruk). Salah satu contohnya adalah keluarga Fir’aun yang dilaknat Allah, tapi istrinya, Siti Asiyah, adalah seorang perempuan yang sholihah (Q.S.at-Tahrim:11).
Ketiga, keluarga yang suaminya fungsional (sholeh dan berakhlak baik) tapi istrinya tidak fungsional. ( jahat dan berakhlaq buruk ). Salah satu contohnya adalah keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth a.s. yang tentu saja keduanya sangat sholeh karena memang utusan Allah, tapi istri mereka adalah perempuan jahat yang suka berkhianat kepada Allah dan kedua suaminya (Q.S. at-Tahrim:10)
Keempat,keluarga yang suami dan istri di dalamnya sama-sama tidak fungsional (jahat dan berakhlaq buruk). Salah satu contohnya adalah keluarga Abu Lahab yang bersama istrinya sangat menentang kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sebagaimana bunyi Surat al-Lahab 1-5.
Keempat profil keluarga sakinah, barokah dan penuh rahmah tersebut, dapat menjadi perenungan bagi kita, ummat Islam di era modern ini. Untuk menuju prinsip umum dalam mewujudkan keluarga barokah, yang harus dibangun di atas pondasi mawaddah-rahmah, diikat oleh mitsaqon ghalidha, terlebih dahulu, hubungan suami-istri harus didasarkan pada prinsip keadilan (al-Adl), kerjasama (at-Ta’awun), serta musyawarah (syura).
Tafsir yang berpihak terhadap kesetaraan dan peranserta laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga perlu mendapatkan perhatian dan pendalaman yang lebih luas. Sehingga peran dan fungsi perempuan tidak lagi melulu berkutat dalam urusan domestik yang sempit seperti zaman dahulu. WalLahu a’lam bis-Showab.
Oleh
Al-Ustadz Kadarisman