Mencintai Allah dan Rasul-Nya (2)

Mencintai Allah dan Rasul-Nya (2)

Rasulullah SAW. adalah sesosok manusia pilihan Allah Ta’ala yang menjadi suri tauladan bagi umat manusia di akhir zaman. Perilaku dan tutur katanya adalah yang terbaik meskipun ujian dan cobaan yang ia dapatkan dari kaumnya begitu berat.

Salah satu kisah yang sangat menarik dari sang baginda Nabi yaitu kisahnya ketika berdakwah di suatu kota bernama Thaif.

Hari itu, Rasulullah berdarah-darah. Kakinya terluka oleh lemparan batu penduduk Thaif. Bukannya menerima dakwah Rasulullah, mereka justru mengusir Rasulullah dengan cacian dan lemparan batu.

Betapa sedih hati Rasulullah saat itu. Kesedihannya bukan karena merasakan sakitnya darah mengalir, tetapi karena umatnya belum mendapat hidayah.

Jika air mata Rasulullah berlinang pada saat itu, itu bukanlah karena perihnya luka, tetapi karena sayangnya beliau kepada umatnya.

Rasulullah kemudian bersimpuh, berdoa kepada Allah dengan doa yang menyayat hati, terutama bagi Zaid bin Haritsah yang menemani beliau saat itu, “Ya Allah, kepadaMu juga aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan kehinaanku di hadapan manusia. Engkau Yang Paling Pengasih, Engkau adalah Tuhannya orang orang lemah, Engkaulah Tuhanku, kepada siapa hendak Kau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas rahmat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan Dzat-Mu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-Mu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain denganMu.”

Saat itulah kemudian malaikat datang kepada beliau dengan menawarkan bantuan untuk menghukum penduduk Thaif. “Wahai Rasulullah, berilah aku perintahmu. Jika engkau mau aku menghimpitkan kedua bukit ini, niscaya aku akan lakukan!” Ucap sang malaikat

Rasulullah menjawab, “Jangan… Jangan! Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun… !” Berkat doa Rasulullah ini, beberapa tahun kemudian penduduk Thaif menjadi ahli tauhid. Bahkan ketika ada kasus murtad sepeninggal Rasulullah, Thaif merupakan salah satu daerah yang bebas dari kemurtadan.

Demikian juga dalam banyak kesempatan yang lain. Ketika orang-orang Quraisy dan kafir lainnya menentang Rasulullah dan mencaci makinya, beliau kerap membalas kejahatan mereka dengan doa, “Allaahummahdii qaumii, fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka belum mengetahui).

Keinginan Rasulullah agar umatnya berada dalam keselamatan dan kebaikan serta terhindar dari adzab ini diijabahi oleh Allah Ta’ala. Dia mengistimewakan umat Muhammad dengan tidak menurunkan adzab kepada mereka. Tidak seperti kaum terdahulu, di saat mereka ingkar kepada ajaran Nabi, mereka dihukum dengan adzab yang menghancurkan dan menghabisi riwayat kaum tersebut.

Begitulah sosok Rasulullah Muhammad SAW yang dijuluki rahmatan lil ‘alamin, atau yang bermakna kasih sayang bagi seluruh alam. Karena dalam diri beliau SAW hanya terdapat cinta dan dedikasi bagi umatnya. Bukan rasa benci atau dengki meskipun beliau berada dalam keadaan terancam sekalipun.

Terdapat salah satu kisah menarik tentang cinta para sahabat kepada sang baginda Nabi SAW.

Alkisah, terdapat salah satu budak Rasulullah SAW. bernama Tsauban yang sangat mencintai beliau. Ia tidak mau jauh atau berpisah dari Rasulullah. Ia selalu mengusahakan diri agar bisa selalu mendampingi Rasulullah. Kapan pun dan dimanapun. Di rumah maupun di perjalanan. Jika Rasulullah ada tugas di luar, Tsauban begitu gelisah. Ia resah karena tidak bisa menatap wajah Rasulullah. Maka ketika Rasulullah kembali ke rumah, Tsauban langsung menatap muka majikannya itu. Ia gembira manakala dekat dengan Rasulullah. Dan dia sedih ketika Rasulullah tidak ada di dekatnya.

Pada suatu saat, Rasulullah SAW. mendapati Tsauban bersedih. Padahal pada saat itu Tsauban tidak sakit dan sedang bersama dengan majikannya, sumber kebahagiaannya. Rasulullah lantas bertanya kepada Tsauban perihal mengapa dia bersedih.  “Kalau teringat akhirat, aku takut tak dapat melihatmu lagi. Sebab, kau akan diangkat ke surga tertinggi bersama para nabi. Lalu, mana tempatku dibandingkan tempatmu? Mana peringkatku dibandingkan peringkatmu?” ucap Tsauban.

“Dan, jika aku tidak masuk surga, niscaya aku tidak dapat melihatmu lagi selamanya,” tambahnya. Begitulah cinta Tsauban kepada Rasulullah, sangat besar. Hingga ia sampai berpikir tentang kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. di akhirat kelak. Apakah dirinya bisa bersama Rasulullah atau tidak.

Rasulullah terharu dengan ucapan Tsauban tersebut. Beliau juga merasa iba dengan pelayannya itu. Namun tak lama setelah itu turun wahyu kepada Rasulullah SAW., yaitu Al-Qur’an Surat (QS) Al-An’am ayat 69. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa siapapun yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para orang shaleh. Ayat tersebut seolah menjawab kesedihan Tsauban yang takut tidak bisa bertemu dengan Rasulullah, orang yang sangat dicintainya, di akhirat kelak.

Lalu bagaimana dengan kita yang hidup di zaman yang sangat jauh dari zaman kehidupan Sang Nabi SAW.?

Rasulullah SAW. pernah berkata, “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku (saudara-saudaraku).” Kemudian para sahabat bertanya, “Apakah maksud engkau berkata demikian, wahai Rasulullah ? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?.” Abu Bakar RA bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mulai memenuhi pikirannya. Rasulullah SAW. menggelengkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum, kemudian bersabda, “Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku.” Suara Baginda Rasulullah bernada rendah. “Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah,” kata seorang sahabat yang lain.

Rasulullah SAW. melanjutkan sabdanya, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku, tetapi mereka beriman padaku dan mereka mencintaiku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.”

Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menjadikan kita termasuk dari Umat Nabi Muhammad SAW. Semoga kita mendapat syafa’atnya kelak di hari akhir, Aamin yaa Rabbal ‘aalamiin..

Sungguh, cinta Rasulullah SAW. kepada umatnya adalah bentuk cinta yang paling mulia dan yang paling agung. Lalu karena begitu cintanya pada umatnya, Nabi Muhammad SAW. berdoa, “Ya Allah ringankan dari umatku sakaratul maut dan bebankan kepadaku.”

Allah SWT kemudian mengabulkan doa Rasulullah SAW tersebut.

Dan benar, sakaratul mau kita ditahan dan ditanggung oleh Rasulullah SAW., sehingga digambarkan oleh Imam Bukhari saat Nabi Muhammad dicabut nyawa beliau, Siti Aisyah memegang kepala Rasulullah SAW. yang begitu panas yang melebihi dari panasnya orang biasa. Setiap kali kain yang terlebih dahulu dicelupkan air ditempelkan di kening Rasulullah langsung mengering.

Dalam kondisi itu, Nabi Muhammad masih sempat menyampaikan banyak pesan. Salah satu pesan yang disampaikannya adalah titipan salamnya, “Aku titip salam, aku titip salam kepada umatku dan orang yang mengikutiku sampai hari kiamat.”

Selain itu, Rasulullah Saw. juga berwasiat agar kita berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Beliau kemudian mengucapkan, “Umatku, umatku, umatku; ash-shalah, ash-shalah, as-shalah.”

Ini menunjukkan betapa cintanya beliau kepada umatnya.

Begitu agung cintanya Rasulullah SAW sampai menjelang wafat pun umatnya lah yang disebut-sebut dan diingat-ingat.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa bersholawat kepada baginda Nabi Muhammad SAW di mana pun dan kapan pun kita berada. Agar kita dapat dipertemukan oleh Allah Ta’ala bersama beliau dan para sahabatnya di hari akhir kelak.

Sumber : Muhadhoroh Ustadz Dafik Syahroni, Lc. Sabtu, 10 September 2022

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: