Apakah Sabar itu Berbatas?
Sabar, satu kata yang sarat dengan makna. Satu kata pula yang mudah untuk dilisankan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Benarkah demikian?
Sebagian besar dari kita, sering menggunakan kata sabar untuk menasihati seseorang atau sebagai bentuk ungkapan simpati. Dengan mudah kita mengucapkan ke lawan bicara. Lantas, apakah sabar itu juga sudah kita terapkan dalam diri sendiri? Mari, sejenak bermuhasabah.
Menurut Imam Ghazali, sabar dibagi menjadi 3 macam. Pertama, sabar dalam ketaatan. Sabar yang dimaksud adalah sabar yang dilakukan ketika seseorang rajin beribadah dan beramal sholih. Tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang berusaha untuk terus dalam ketaatan juga mendapat godaan seperti malas atau lelah, sehingga diperlukan sikap sabar dalam menghadapi godaan tersebut agar tetap istiqomah melakukan kebaikan. Kedua adalah sabar dalam menerima ujian atau musibah. Tidak sedikit orang yang secara spontan mengeluh ketika musibah menimpanya. Baru sesaat setelah itu tersadar dan menyadari setiap yang terjadi atas kuasa-Nya dan pasti terselip untaian hikmah dibaliknya. Ketiga, sabar dalam menjauhi maksiat. Sabar ini adalah sabar yang dilakukan seseorang untuk menahan diri dari segala perbuatan maksiat. Meskipun dalam hatinya tergoda ingin melakukan, tetapi sebisa mungkin untuk menghindari.
Banyak kisah para Nabi yang dapat kita teladani tentang kesabarannya. Seperti kisah Rasul Ulul Azmi. Siapa sajakah mereka dan mengapa disebut Ulul Azmi? Mereka yaitu, Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan Nabi Muhammad SAW, lebih mudah diingat dengan NIMIM. Mendapat sebutan Ulul Azmi karena atas kesabaran dan ketabahan hati dalam menghadapi setiap ujian dari Allah SWT. Firman Allah SWT dalam QS. Ma’arij: 5 yang berbunyi
فَاصْبِِرْ صَبْرًا جَمِيْلاً
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) dengan kesabaran yang baik”
Selain kelima Nabi di atas, kita kenal juga Nabi Ayyub as yang bersabar atas penyakit kulitnya. Sampai orang terkasih pun pergi meninggalkan yaitu, anak-anak Nabi Ayyub diwafatkan dan istri meninggalkan Nabi seorang diri. Namun demikian, lisan Nabi Ayyub tak hentinya berdzikir kepada Allah SWT atas sakit yang dideritanya.
Hidup dan tinggal di pesantren adalah pilihan. Mereka yang memilih di pesantren tentu ada ujian tersendiri. Karena pada dasarnya, pilihan tersebut tidak lantas datang dari keinginan anak pribadi. Namun, juga dari keinginan orangtua. Terlepas dari itu semua, ketika anak sudah memutuskan di pesantren, maka dia harus bersiap juga dengan kesabaran-kesabaran di pesantren. Mulai dari antri mandi, antri mengambil makan, atau yang lainnya. Dari sinilah para santri dididik dengan segala kesabarannya. Berbeda ketika mereka di rumah, yang mungkin segala keperluan disedikan. Makan tinggal makan tanpa perlu mencuci piringnya, menonton TV, dan fasilitas-fasilitas lain yang ada di rumah.
Di zaman milenial ini, semua serba instan. Tetapi untuk pendidikan anak, tidak bisa instan. Semua harus berproses. Sabar dan nikmati prosesnya. Dalam kitab ta’limul Muta’allim, terdapat syair indah dari sayyidina Ali bin Abi Tholib karamallahu wajhah yang berbunyi
أَلاَ لاَ تَنَالُ اْلعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكَاءٍ وَ حِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَ بُلْغَةٍ # وَ إِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَ طُولِ زَمَانٍ
Artinya: Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam syarat. Aku akan memberitahumu keseluruhannya secara rinci. Kecerdasan, kemauan, kesabaran, biaya, bimbingan ustadz, dan waktu yang panjang.
Selain kesabaran, juga memang diperlukan waktu yang panjang. In syaa Allah semuanya tidak akan ada yang sia-sia. Allah telah menetapkan pahala bagi orang-orang yang bersabar. Firman Allah SWT tentang pahala sabar
وَجَزَىهُمْ بِمَاصَبَرُوْا جَنَّةً وَحَرِيْرًا
“Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera” (QS. Al-Insan: 12)
Semoga Allah SWT menganugerahi kita semua kesabaran yang tiada batas. Bukan hanya mudah dilisan, tetapi juga ringan untuk melaksanakan. Biidznillah, in syaa Allah. [Murti]