Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Niat dalam Menuntut Ilmu (Menjadi Santri Sejati Bag. 3)

Sabtu, 17 September 2020.

Di malam yang gemintang ini, al-Ustadzah Afifah Nuraniyah, Lc mengaji kitab Ta’lim Muta’allim karya Syaikh Az-Zarnuji. Pembahasan pekan ini melanjutkan pembahasan di pekan sebelumnya, yakni ilmu haal (silahkan baca Menjadi Santri Sejati (Bag. 2)). Kali ini pembahasan berlanjut menuju bab mengenai keutamaan ilmu akhlaq dan niat dalam menuntut ilmu.

A. Keutamaan Ilmu Akhlaq

Penulis meriwayatkan bahwasanya Imam asy-Syahid Nashiruddin Abul Qasim telah mengarang kitab mengenai akhlaq dan seluk beluknya. Beliau menegaskan bahwa buku tersebut adalah salah satu karya terbaik milik sang Syaikh. Sehingga wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk menjaga akhlaqnya, serta mempelajari ilmunya. Salah satu caranya yaitu dengan mengkaji kitab milik Syaikh Nashiruddin tersebut.

B. Hukum Menuntut Ilmu Amalan Fardhu Kifayah

Hukum menuntut ilmu mengenai segala sesuatu yang terjadi secara insidental adalah fardhu kifayah. Maksud dari fardhu kifayah, yakni apabila di suatu daerah telah terdapat sekelompok orang yang melaksanakan kewajiban itu, maka cukuplah mereka mewakili semua orang yang ada di daerah tersebut. Sebaliknya apabila tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka dosa meninggalkan perintah tersebut akan ditanggung oleh semua orang yang ada di daerah itu. Oleh karena itu, wajib bagi seorang pemimpin di daerah tersebut untuk menunjuk beberapa orang yang akan melaksanakan kewajiban itu, bahkan dengan paksaan sekalipun.

ilmu haal, diumpamakan seperti makanan bagi manusia
ilmu amalan fardhu kifayah, diumpamakan seperti obat bagi manusia

Kemudian Syaikh Az-Zarnuji memberikan perumpamaan bagi beberapa ilmu. Yang pertama, ilmu haal atau ilmu mengenai amalan fardhu ‘ain. Perumpamaannya ibarat makanan bagi manusia. Saking vitalnya, maka apabila manusia melewatkannya ia akan mati. Sedangkan ilmu mengenai amalan fardhu kifayah diibaratkan layaknya obat bagi manusia. Yakni, dibutuhkan hanya di waktu-waktu tertentu saja. Namun, ada juga ilmu yang perumpaannya sangat buruk. Yaitu ilmu nujum, ibaratnya adalah seperti penyakit bagi manusia. Ilmu nujum, ramalan, zodiak, atau yang sejenis itu merupakan ilmu yang berbahaya karena mengandung kesyirikan. Oleh karena itu hukum mempelajarinya, mengamalkannya, atau meminta pertolongan kepada pelakunya adalah haram mutlak.

ilmu nujum, ilmu haram yang membawa kesyirikan

Selain membahayakan aqidah, ilmu nujum juga merupakan ilmu yang tidak bermanfaat. Mempelajarinya justru membawa kesia-siaan karena tidak ada seorang pun yang mampu lari dari takdir Allah SWT. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim memperbanyak berdzikir dan berdo’a kepada Allah, menambah ketundukan, merutinkan membaca al-Qur’an serta bershodaqoh (yang akan menghalangi dari musibah).

Kemudian tak cukup sampai di situ saja, hendaknya seorang muslim juga senantiasa memohon ampunan dan kesehatan di dunia, juga di akhirat agar Allah SWT. melindunginya dari mara bahaya.  Memang, ketentuan Allah masih akan tetap berlaku tanpa terkecuali. Namun, setidaknya bila seorang hamba berdo’a dan bersabar, maka Allah SWT. akan memudahkannya dalam menghadapi masalah tersebut. In syaa Allah..

ilustrasi ilmuwan ilmu falak/astronomi islam sedang mengamati langit dengan teleskop di abad pertengahan

Namun, jika ilmu nujum yang dimaksudkan adalah ilmu falak (astronomi dalam islam) yang digunakan untuk mengetahui arah kiblat dan waktu sholat maka diperbolehkan.

ilustrasi ilmu kedokteran

Adapun hukum mempelajari ilmu kedokteran adalah mubah (boleh). Mempelajarinya bukan berarti kita ingin lari dari takdir Allah SWT. Justru dengan mempelajarinya, kita akan mengetahui sebab terjadinya suatu penyakit, apa yang baik bagi jasmani kita, dan apa yang buruk baginya. Nabi Muhammad SAW. pun diriwayatkan bahwasanya beliau pernah berobat ketika sakit.

 “Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukum agama, dan ilmu kedokteran untuk memelihara badan. Dan ilmu selain itu adalah pelengkap.”

-Imam Syafi’i rahimahullah-

***

Pada akhirnya, ilmu itu tidak akan berarti apa-apa kecuali jika diamalkan. Dan pengamalan ilmu yang hakiki baru bisa terwujud apabila seseorang mampu meninggalkan dunianya demi menggapai kebaikan di akhirat kelak. Oleh karena itu, hendaknya manusia tidak lalai dari dirinya sendiri. Caranya dengan mengambil hal-hal yang bermanfaat baginya serta menjauhi hal-hal yang buruk baginya di dunia dan di akhirat. Agar akal dan ilmunya tidak menjadi pemberat timbangan keburukan, juga tidak malah menambah adzab bagi kita kelak di hari kiamat. Na’uudzu billaahi min sakhathih wa ‘iqaabih..

***

kaligrafi hadits tentang niat

Hadits ini pasti sudah sangat familiar di telinga kita semua. Hadits ini pulalah yang menjadi dasar bagi seorang muslim untuk meniatkan segala perbuatan karena Allah SWT. Selain hadits tersebut, terdapat satu lagi hadits tentang niat yang begitu mendalam maknanya.

 كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الدّنْياَ وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِيَّة مِن أَعْمَالِ الآخِرَة

كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُ بِصُوْرَة أعْمالِ الأخرة ثُمَّ يَصِيْر مِن أَعْمَالِ الدُّنْيَا بِسُوْءِ النِيَّة

“Betapa banyak amal duniawi yang dihitung sebagai amal ukhrowi dikarenakan baiknya niat. Dan betapa banyak pula amal ukhrowi yang dihitung sebagai amal duniawi disebabkan buruknya niat.”

Oleh karena itu, hendaklah bagi para penuntut ilmu, terutama santri, untuk senantiasa memperbaiki niat. Lantas, apa saja niat terpuji yang mampu dijadikan landasan hati untuk beramal?

Berikut adalah niat-niat yang dibenarkan dalam menuntut ilmu yang bisa dijadikan landasan hati untuk beramal:

  1. Untuk menggapai ridho Allah SWT.
  2. Untuk menggapai kebahagiaan di akhirat kelak.
  3. Menghilangkan kebodohan diri sendiri dan orang lain.
  4. Menghidupkan dan melanggengkan Islam.
  5. Mensyukuri nikmat pemberian akal serta kesehatan tubuh.

Sedangkan niat yang salah contohnya ialah demi mendapat pengakuan dari manusia, meraih kedudukan yang tinggi di masyarakat, ataupun untuk meraih kemuliaan di depan pejabat pemerintahan. Namun apabila niat mencari hal-hal duniawi tersebut ditujukan untuk amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) maka diperbolehkan sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan. Seperti yang terjadi dalam bidang politik, tentu saja hal itu menuntut seorang muslim untuk menjadi terkenal dengan status sosial yang tinggi pula.

Penulis kemudian mengutip tiga syair yang dapat kita jadikan sebagai reminder bagi diri kita masing-masing:

فـساد كـبير عـالم مـتهتـك            وأكـبر منه جاهل متنسك

هما فتنة للعالمين عظيمة            لمن بهما فى دينه يتمسك

“Akan kacau balau dunia ini apabila yang alim enggan mengamalkan ilmunya.

Lebih kacau lagi, bila yang jahil beribadah tanpa tahu arah.

Keduanya membawa petaka di dunia, terutama bagi orang-orang yang mengikutinya.”

-Syaikh Burhanuddin, pengarang kitab “Al-Hidayah”-

 

من طلب العلم للمعاد        فاز بفضل من الرشاد

فـيالخسـران طالـبيـه        لـنيل فـضل من العباد

Barang siapa menuntut ilmu untuk akhirat, akan unggul dengan petunjuk  Illahi.

Aduhai, betapa ruginya, bila menuntut ilmu, namun hanya mengharap harga diri dari hamba Illahi.
-Imam Abu Hanifah-
هى الـدنيا أقـل مـن الـقـليل    وعاشقها أذل من الذليل
تصم بسحرها قوما وتعمى    فـهم مـتخيرون بلا دليل

Dunia itu sedikit, dan paling sedikit

Pecintanya pun hina, nan hina dina

Tipu daya dunia membutakan mata dan membuat tuli telinga mereka

Mereka kebingungan, berjalan di dunia tanpa arah

-Pepatah Arab-

Ketiga syair tersebut sekaligus mengakhiri pengajian Kitab Ta’limul Muta’allim pada malam hari ini. Semoga kita semua mampu menata niat hati kita selurus mungkin. Agar seluruh amal perbuatan kita tak terbuang sia-sia begitu saja. Menjadi santri sejati bukanlah proses yang mudah, namun semua orang bisa berusaha sebaik mungkin untuk menjadi santri sejati. Kapanpun, di manapun, dan siapapun. [Rojwaa Abiyyi]

One thought on “Niat dalam Menuntut Ilmu (Menjadi Santri Sejati Bag. 3)

  • Taufik
    September 6, 2022 at 12:10 pm

    Nama kitab akhlaq milik syaikh assyahid nasiruddin apa yh mbak?

Leave a Reply