Tawakkal
Dalam proses panjang menuntut ilmu, pastinya kita akan menemui berbagai macam masalah serta halang rintang. Mulai dari masalah finansial, masalah dalam pergaulan sesama penuntut ilmu, bahkan masalah dari dalam diri kita sendiri sepeti minder, insecure, dan sekelumit problematika kehidupan lainnya.
روى أبو حنيفة رحمه الله عن عبد الله بن الحارث الزبيدى صاحب رسل الله صلى الله عليه و سلم: من تفقه فى دين الله كفى همه الله تعالى ورزقه من حيث لا يحتسب.
Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah Ibnul Hasan Az-Zubaidiy sahabat Rasulullah saw : “Barangsiapa mempelajari agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rizki dari jalan yang tidak dikira sebelumnya.”
Seorang santri haruslah senantiasa bertawakal dalam menuntut ilmu. Meski berjuta masalah datang melanda. Meski masalah seberat masalah keuangan pun mengikis asa. Karena tawakkal adalah kuncinya. Kunci untuk menepis rasa putus asa dan segala bisikan jahatnya.
قيل: دع المكـــــارم لا ترحل لبغيتها واقعد فإنك انت الطاعم الكاسى
Tinggalkan kemuliaan, jangan kau mencariDuduklah dengan tenang, kau akan disuapi dan dipakaiani
(Sya’ir Arab)
Bertawakal itu artinya memasrahkan diri kepada Allah setelah segala macam usaha dikerahkan. Bertawakal itu adalah memanajemen hati, bagaimana kita mengembalikan segala yang kita miliki hanya kepada Allah semata. Bertawakkal adalah tentang menerima. Menerima segala yang Ia beri tanpa berhenti bersyukur. Bertawakal itu tidak mengeluh, tidak mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Orang yang senantiasa bertawakkal kepada Allah akan senantiasa tehindar dari bebagai macam kekhawatiran. Karena hatinya sudah diliputi keyakinan, bahwasanya Allah telah menjamin rezeki dalam hidupnya.
Musuh terbesar tawakal adalah hawa nafsu. Di mana hawa nafsu senantiasa mengajak kepada keburukan dan kepentingan-kepentingan duniawi semata. Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk lebih mementingkan keinginan pibadinya dibanding kebutuhan agamanya yang hakiki.
Lalu, apa yang terjadi dengan orang yang menuhankan hawa nafsunya? Maka, ilmu tidak akan memberi pengaruh yang besar bagi kehidupannya. Kebaikan-kebaikan dalam ilmu hanya akan menjadi teori semata. Maka, apalah gunanya? Oleh karena itu hendaklah kita mengoreksi diri kita masing-masing. Sudahkah kita bertawakal? Sudahkah kita menjadikan Allah sandaran dalam menjalani kehidupan ini? Atau jangan-jangan kita masih diperbudak oleh hawa nafsu kita? Masihkah kita mementingkan urusan-urusan duniawi yang bersifat sementara? Masihkah kita membesar-besarkan masalah yang besifat kecil di mata Allah dan meremehkan urusan-urusan yang besar di mata Allah?
Ada seorang lelaki berkata kepada Manshur Al-Hallaj: “Berilah aku wasiat!” iapun berkata: “Wasiatku adalah hawa nafsumu. Kalau tidak kau tundukkan, engkaulah yang dikalahkan.”
Maka, salah satu cara untuk menepis hawa nafsu adalah dengan menyibukkan diri kita dengan kebaikan. Kebaikan yang terorganisasi, kebaikan yang juga dihiasi mimpi untuk menebar lebih banyak manfaat bagi orang lain. Seperti mengajar, berdakwah, menulis, membuat konten di internet yang mengajak untuk melakukan kebaikan, serta masih banyak amalan-amalan lainnya yang mampu membuat kita disibukkan dengan kebaikan.
Semoga kita senantiasa bertawakal serta istiqomah dalam kebaikan. Amin ya Rabbal ‘Alamiin..
[Admin]