Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Hanya Tulang Rusuk

ia
tak
lagi ‘hanya’ tulang rusuk
Ia lahir sebagai tulang rusuk, untuk dilindungi dan disayangi—bukan untuk memikul, tapi mendampingi. Namun takdir kerap menulis ulang peran. Bahwa hidup tak selalu seperti skenario yang dibayangkan, ia menjelma dari tulang rusuk menjadi tulang punggung—penyangga beban yang tak ringan.
Kita mengenalnya sebagai ibu rumah tangga, tapi juga buruh cuci, single parent, tukang sapu jalanan, pedagang sayur, TKW di negeri orang, hingga wanita karir dengan setelan rapi dan langkah cepat. Ia bukan sekadar mencari nafkah. Ia bertarung untuk keberlangsungan hidup orang-orang yang ia cintai. Di waktu yang sama pula ia harus belajar membagi waktu, memisah antara air mata di dapur dan senyum di depan anak.
Ketika suami pergi—oleh ajal atau keadaan—tak ada waktu untuk jatuh. Ia menjadi segalanya bagi anak-anaknya: ibu, ayah, pelindung, sekaligus pejuang yang tak membawa pedang. Hari-harinya dimulai sebelum fajar dan diakhiri jauh setelah semua lampu rumah padam. Ia berperan ganda, namun tetap harus utuh. Menyulap satu tubuh menjadi dua: satu untuk rumah, satu untuk dunia luar.
“Women are half of the world’s population, do two-thirds of the work, get one-tenth of the income, and are the owners of one per cent of the property.”
—Krishna Ahooja-Patel, aktivis dan diplomat perempuan.
Kutipan itu bukan sekadar catatan sejarah. Ia masih hidup—terasa makin nyata hari ini.
Realitas berbicara dengan caranya sendiri: partisipasi perempuan dalam dunia kerja
semakin tinggi. Dunia memang memberi ruang, tapi kenyataannya sering bukan soal cita-cita, melainkan keterpaksaan; terdorong oleh keadaan.
Bagi mereka yang berpendidikan rendah, bekerja adalah upaya bertahan. Bagi yang berpendidikan tinggi, karir menjadi lahan aktualisasi. Tapi apa pun alasannya, beban tetap sama: menjadi dua dalam satu tubuh.
Mereka menyumbang pendapatan, menutup kekurangan, membayar pendidikan anak, menopang ekonomi keluarga. Tapi dampaknya tak selalu tampak: stres yang dipendam, lelah yang tak diakui, dan perasaan bersalah karena waktu bersama keluarga tergerus dalam irama pekerjaan yang tak kunjung usai.
Dalam sebuah laporan, Riskesdas 2022 menuliskan angka: 63,1% ibu rumah tangga yang bekerja informal mengalami kecemasan atau depresi, terutama yang berpenghasilan rendah. Di tempat lain, American Psychological Association mencatat 57% ibu bekerja di AS mengalami stres tinggi karena harus menyeimbangkan peran ganda. Angka-angka itu bukan sekadar data. Bukan juga air mata. Tapi kadang, ia cukup untuk menggambarkan betapa rapuhnya tubuh yang terlihat tegar.
Mereka manusia biasa yang dipaksa jadi luar biasa. Bukan karena ingin kuat, tapi karena tak punya pilihan lain. Maka empati tak cukup. Perempuan membutuhkan dukungan nyata: akses pendidikan, pelatihan, waktu istirahat, pasangan yang mau berbagi beban, serta ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Hari ini, banyak perempuan memanggul dunia di punggungnya. Tanpa sorotan. Tanpa tepuk tangan. Mereka tidak bertanya kenapa harus bekerja, mereka hanya bertanya: siapa lagi kalau bukan aku?
Dan di titik itulah, tulang rusuk berubah menjadi tulang punggung. Bukan karena ingin. Tapi karena tak ada jalan lain.

Tinggalkan Balasan