Lebih Merah dari Yang Merah, Cerpen Karya Santriwati PPDU Putri 01 Tentang Keganasan PKI
Aku menatap jauh cakrawala senja hari ini. Angin berhembus menerpa wajahku. Lampu-lampu biru dan hijau di jembatan mewarnai suasana hiruk pikuk orang yang berlalu lalang.
“Ra, ayo pulang!” ajak Iza kepadaku.
Namaku Zaheera, aku hidup bersama dengan keluarga temanku, Iza. Semua orang pasti bertanya-tanya mengenai hal ini. Ada apa dengan keluargaku? Namun pertanyaan itu tak akan pernah mampu kujawab. Karena aku masih remaja, masih terlalu dini untuk memahami peristiwa apa yang telah terjadi pada diriku dan keluargaku di masa lalu.
Telah lama memoriku hilang, tak sedikitpun tersisa rasa rinduku kepada mereka. Namun, semenjak diriku berumur 17 tahun, rasa rindu itu muncul sedikit demi sedikit dari lubuk hatiku yang terdalam.
“Sebenarnya, apa yang telah terjadi?”
***
Flashback
“Bunda, catering aqiqoh untuk adek Zaheera sudah datang!” teriak Kak Farhan dari halaman rumah.
“Iya Kak, bilang aja ke pengirimnya buat taruh di ruang tamu.” tanggap Bunda.
“Tapi Bun, kata masnya mobilnya lagi trouble. Jadi catering-nya ditaruh di deket jalan raya depan gang” ujar Kak Farhan menjelaskan.
“Ya sudah, ayo kita ambil pakai mobil.” ajak Bunda.
“Tapi Bun, adek gimana?” tanya kakak dengan penuh rasa khawatir.
“Nggak papa, kak. Sebentar aja, kok! Lagian kita pakai mobil, kan?” ujar Bunda menenangkan.
“Ya, deh…”
Sesampainya di jalan…
Rasa aneh mulai muncul di hati Kak Farhan. Terlihat jauh di depan, ada mobil Pajero putih serta lima orang yang berpakaian merah marun sedang menunggu kedatangan seseorang.
“Bunda, mungkin itu…” tebak Kak Farhan sambil menunjuk ke arah mobil itu berada.
“Yakin, kak?” ucap Bunda sedikit ragu.
“Coba dikontak, Bun”
Bunda pun mengambil handpone dan mulai mencari kontak nomor catering tadi. Namun tak berselang lama, meluncur banyak peluru dari berbagai arah. Hingga salah satu peluru pun menembus jantung Bunda. Kakak berusaha melindungi Bunda dan menelpon Ayah.
Tapi terlambat, Kakak ditusuk dari belakang. Darah merahnya yang segar mengalir dari balik punggung mengucur deras hingga kedua mata kaki. Mereka berdua tewas dalam satu waktu. Tragis, anarkis. Bahkan sangat sadis.
Di tempat lain, Ayah mengirim pesan bahwa beliau akan pulang sore hari nanti. Namun Ayah tewas dimutilasi oleh segerombolan orang berbaju merah saat di perjalanan.
***
“Assalamu’alaikum…”
“….”
“Oek…, oek…, oek…”
“Loh, di mana Bunda Tia?” tanya penjual catering, sembari mengintip dari jendela besarnya.
“Oek…, oek…, oek…”
“Ya Allah, gimana ini?”
“Maaf, bunda. Saya izin masuk…”
Penjual itu pun masuk menuju arah suara tangisan bayi yang meraung-raung.
“Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun… Ini Zaheera! Ya Allah, nak…”
Ibu penjual itu segera menggendong lalu menyusuinya. Dengan lahap, bayi itu meminum ASI hingga kenyang.
“Di mana Bunda Tia?”
Penjual itu bernama Bunda Aisha, sahabat karib Bunda Tia sejak kecil. Beliau juga telah lama merintis usaha cateringnya tersebut.
Bunda Aisha coba menghubungi Bunda Tia. Setelah dihubungi beberapa kali, masih tetap tak ada respon apapun.
“Nak Zaheera, Bunda bawa dulu ke rumah, ya…” bisik Bunda.
Di rumah…
“Bunda, kakak dan ibu Zaheera tewas tadi pagi di jalan raya depan gang D.I. Pandjaitan.” ucap suami Bunda Aisha menginformasikan apa yang telah terjadi.
“Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…, TIA!!!” teriak Bunda Aisha.
“Tenang, Bun… Jasadnya sudah diurus oleh perwakilan KOMNAS HAM daerah.” hibur suaminya.
“Mas, anaknya menangis dari tadi pagi sampai siang ini…” ucap Bunda sesenggukan dengan tangisan tulusnya.
“Sungguh berat cobaanmu, nak… Baru tiga hari menatap dunia, tapi semua orang yang mencintaimu diambil Sang Pencipta…” ucap Bunda Aisha kepada Zaheera.
***
Itulah singkat cerita dari tragisnya kehidupanku. Bayi berumur tiga hari yang dalam satu waktu sudah merasakan pahitnya ditinggalkan keluarga untuk selama-lamanya. Beginilah aku, hidup sebatang kara.
Mereka para pembunuh telah lama mengincar keluargaku. Karena dari garis keturunan, kami memiliki hubungan darah dengan keluarga besar Kyai tersohor di kota ini, Surabaya.
PKI! Ya, merekalah pembunuh keluargaku. Semenjak aku mengetahui kejadian tersebut, aku selalu berhati-hati. Khawatir bila sewaktu-waktu apa yang telah menimpa kedua orang tua dan kakakku akan menimpa diriku yang tak tahu apa-apa ini.
“Zaheera, kamu tahu? Bundamu suka sekali melantunkan ayat suci di malam Idul Fitri dengan qira’ah ala Muzammil Hasballah.” ujar Bunda Aisha kepadaku yang melamun di balkon kamar.
“Bunda…, betapa kuatnya Zaheera ini…” ucapku pelan. Aku memeluk Bunda sambil menangis tersedu-sedu.
“Nak, kamu bisa membalas dendam kepada mereka yang telah membunuh keluargamu.”
“Caranya bagaimana, Bunda?”
“Ambil alihlah kekuasaan dan keberanian mereka dalam perusakkan serta pembunuhan umat Islam, lalu jadilah da’iyah yang menyatukan umat, bukan malah memecah belah. Zaheera, bahagiakanlah kedua orang tua juga kakak di syurga dengan usaha serta kerja kerasmu.” nasehat Bunda sembari mengelus lembut pipiku yang dipenuhi oleh butiran-butiran air mata.
“Baik, Bunda…”
Aku bertekad untuk mengambil alih kekuasaan mereka-mereka yang telah membunuh keluargaku. Tunggulah wahai para perusak umat! Tak hanya diriku, namun umat Islam sedunia akan mengguncangkan semesta dengan syari’atNya.
-Sekelumit kisah dariku yang mungkin dapat menjadi inspirasi bagimu wahai ulama’ pejuang.-
[Syifa Namira]