Mencintai Allah dan Rasul-Nya (1)
Pada kajian sebelumnya, kita telah membahas mengenai urgensi akhlaq bagi seorang muslim. Selain itu, kita juga telah membahas bahaya atau keburukan dari akhlaq yang tercela.
Pada kajian kali ini, kita akan membahas beberapa bentuk akhlaq kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah dan Rasulullah Muhammad SAW. adalah pihak pertama yang harus kita imani dan taati agar kita bisa menjadi seorang muslim berakhlaq yang hakiki, Insyaa Allah.
Merasakan Pengawasan Allah
Apabila seseorang senantiasa merasakan pengawasan Allah Ta’ala di mana pun dan kapan pun, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa malu yang besar dalam dirinya. Yaitu malu untuk bermaksiat dan melakukan hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.
Istri Rasulullah SAW. sekaligus salah satu perawi hadits nabi, Aisyah RA, juga dikenal sebagai seseorang yang pemalu.
Ketika dia masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah dan Abu Bakar, dia tidak memakai hijab. Karena dua orang tersebut adalah suami dan ayahnya. Namun ketika Umar bin Khattab dikubur di sebelah keduanya, dia tidak lagi berani membuka hijabnya karena malu kepada Umar bin Khathab.
Rasa malu yang besar ini tentu saja tidak muncul dengan sendirinya. Ia merupakan buah dari rasa malu yang besar kepada Allah Ta’ala pula.
Ada suatu kisah lagi mengenai hal ini, kisah tentang tujuh orang murid yang dibina oleh seorang Syaikh bernam Atho’ Assilami.
Alkisah, kecintaan Syekh Atho’ pada salah satu muridnya yang bernama Ibrahim terbaca oleh keenam muridnya yang lain. Praktis, hal itu menimbulkan kecemburuan tersendiri di kalangan mereka.
Syekh Atho’ ternyata menyadari hal itu. Namun, ia pun juga tak ingin menimbulkan perselisihan dengan menjelaskan secara panjang lebar kelebihan Ibrahim dibanding teman seperjuangannya itu. Takut jikalau itu malah tidak objektif dan terlalu dilebih-lebihkan. Yang justru, nantinya malah akan meningkatkan rasa kecemburuan di antara mereka, para muridnya.
Akhirnya, Syekh Atho’ pun memiliki cara yang lebih elegan. Dipanggilnya ketujuh muridnya untuk diberi tugas. Ia berkata kepada murid-muridnya, “Wahai anak-anakku. Sembelihlah ayam ini, namun jangan sampai ada siapa pun yang mengetahuinya. Siapa pun ia,” perintah Syekh Atho’ tegas. Setelah semua menerima ayam dan sebilah pisau, ketujuh muridnya lalu dipersilakan untuk mencari tempat sesuka mereka. Tanpa pikir panjang dan tunggu lama, murid-murid itu pun bergegas mencari lokasi yang tepat, yang tersembunyi, yang menurut mereka tidak akan terlihat oleh siapa pun.
Tak selang beberapa lama, satu per satu murid Syekh Atho’ pun kembali dengan membawa ayam yang telah terpotong lehernya. Sambil berkata congkak bahwa mereka yakin tak ada siapa pun yang mengetahuinya.
Tetapi setelah sekian lama, ada salah satu murid Syekh Atho’ yang tak kunjung kembali. Ya, ia adalah Ibrahim, murid kesayagannya. Semua temannya heran, mengapa ia begitu bodohnya mencari lokasi tersembunyi, batin teman-temannya. Berbeda dengan Syekh Atho’, ia justru tampak tenang sekali. Ternyata, beberapa saat kemudian Ibrahim kembali dengan ayam yang masih hidup. Tanpa pisau yang berdarah, dan ayam yang masih juga bersih.
Syekh Atho’ pun dengan bangga lantas bertanya, “Wahai Ibrahim, mengapa ayammu masih hidup? Bukankah aku perintahkanmu untuk menyembelihnya?.”
“Maaf guru, bukannya saya hendak melawan perintah Anda. Namun, saya benar-benar tak bisa menyembelih ayam ini tanpa diketahui siapa pun. Bagaimanpun juga, saya tidak bisa mengingkari hati nurani saya bahwa di mana pun saya berada, Allah akan tetap melihat apa yang saya kerjakan,” jawab Ibrahim dengan lugunya.
Sontak, seluruh temannya tertunduk malu. Bagaimana mereka begitu yakin, jika tidak ada siapa pun yang melihat perlaku mereka. Padahal sang guru telah mendidik hatinya sedemikian rupa, agar mereka selalu menancapkan Allah dalam relung sanubari. Lewat kejadian itu pun, para murid akhirnya sadar mengapa sang guru begitu sayang terhadap Ibrahim.
Dari cerita tersebut kita bisa mengambil banyak pelajaran tentang pentingnya rasa malu karena kita selalu berada dalam pengawasan Allah Ta’ala tanpa terkecuali. Oleh karena itu, jika kita sudah memiliki rasa malu dalam mengerjakan sebuah keburukan, maka hendaknya kita menaati segala peraturan yang ada di pondok dan di mana pun kita berada. Karena kita tahu Allah akan selalu mengawasi kita. Bukan karena takut diberi hukuman atau hadiah dari manusia.
Memohon Ampun Kepada Allah atas Dosa yang Disadari Maupun Tidak
Apabila kita telah menyadari perbuatan salah kita, maka segeralah memohon ampunan kepada Allah Ta’ala. Karena Ialah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Untuk lebih memahaminya, mari kita simak salah satu kisah menarik tentang pencatatan amal kita di sisi Allah.
Setiap ada seorang hamba yang berbuat dosa, Malaikat pencatat amal buruk diperintahkan untuk menahan agar tidak langsung menulis dosa yang telah dilakukan hamba-Nya tersebut.
“Jangan tuliskan dulu, sabar.”
Allah mengharapkan dan menunggu hamba-Nya untuk beristighfar.
Ketika hari sudah mulai malam, malaikat pencatat amal buruk kembali bertanya apakah sudah boleh mencatat dosa dan maksiat yang telah orang tersebut lakukan.
“Ya Allah, apakah kami tulis?”
“Tunggu, sampai hamba itu tertidur malam hari sedangkan ia lupa memohon ampun kepada Allah sebab dosanya dan maksiat.” Jawab Allah kepada malaikat.
Barulah ketika orang tersebut sudah tidur, dan belum bertaubat, Allah mengizinkan malaikat mencatat dosa dan maksiat orang tersebut.
“Wahau hamba-Ku, engkau tidak memiliki rasa malu. Engkau sudah tertidur sedangkan kamu baru memberlakukan dosa maksiat.”
Meski sudah dicatat, Allah tetap akan mengampuni dosa orang tersebut jika ia melakukan taubat dan memohon ampun kepada Allah.
Oleh karena itu, mari kita senantiasa beristighfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala atas segala dosa yang kita sadari maupun tidak disadari.
Sebagai seorang muslim pula kita tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Karena bahkan tanpa kita sadari, adzab Allah bisa saja menimpa kita dengan bentuk yang tidak langsung.
Alkisah, seorang pria datang kepada al-Hasan al-Bashri dan berkata kepadanya, “Saya mendengar bahwa setiap ketidaktaatan memiliki hukuman, dan bahwa saya banyak mendurhakai Allah. Namun mengapa saya tidak merasa Allah menghukum saya?”
Dia berkata kepadanya, “Wahai anakku, betapa sering Allah telah menghukummu, dan engkau tidak menyadarinya?”
Dia berkata, “Bagaimana itu bisa terjadi?”
Hasan Al-Bashri pun menjawab, “Apakah engkau tidak menyadari bahwa Allah telah menghilangkan rasa manis dari bermunajat kepadaNya?
Bukankah hari-harimu telah berlalu tanpa membaca Al-Qur’an?
Tidakkah engkau melewatkan malam-malam yang panjang ketika engkau tidak melaksanakan tahajjud?
Tidakkah engkau menahan lidahmu untuk berdzikir kepadaNya?
Apakah Allah tidak mengujimu dengan cinta harta, martabat, dan kemasyhuran?
Tidakkah engkau merasakan beban untuk melakukan ketaatan di hatimu?
Tidakkah mudah bagimu untuk menyebarkan fitnah, gosip, dan kebohongan?
Tidakkah engkau melupakan akhirat dan menjadikan dunia sebagai perhatian terbesarmu?
Bukankah engkau telah melewati waktu-waktu kebaikan: Ramadhan, enam Syawal, sepuluh Dzulhijjah, dan engkau tidak mampu memanfaatkannya sebagaimana mestinya?
Sungguh, adzab yang paling ringan bagi Allah adalah apa yang nyata, baik berupa uang, anak-anak atau kesehatan, sedangkan adzab terbesar adalah apa yang tidak terlihat, yaitu yang tempatnya di hati.
Siksaan Allah lebih besar dari yang engkau sadari. Yaitu azab-Nya yang membukakan dunia bagimu sehingga membuatmu melupakan akhirat. Serta membukakan bagimu pengetahuan duniawi yang mengalihkanmu dari pengetahuan atau pemahaman hukum dalam agamamu. Bagimu banyak uang menghalangimu dari kesenangan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah. Dan inilah salah satu bentuk adzab terbesar.
Betapa seringnya Allah Ta’ala telah mengadzabmu dan engkau tidak menyadarinya!”
Demikianlah beberapa poin penting dalam berakhlaq untuk mencintai Allah Ta’ala yang patut kita pelajari dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian kita akan membahas tentang cinta kepada Rasulullah SAW. di bagian kedua.