Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Sebuah Asa (Juara 1 Lomba Cerpen se-PPDU Putri 01 Tahun 2020)

Karya : Casilda Mar’atus Sholihah, santriwati kelas 6 KMI PPDU Putri 01 Malang

“Kenapa rongsokan ini masih di sini, heh?! Masih tak puas kau kotori rumah ini dengan sampah?!” Seruan itu terdengar begitu nyaring. Siapapun yang mendengar pasti mengerti bahwa tiap kalimatnya penuh dengan konotasi amarah juga ancaman.

Aku masih terdiam dengan kepala menunduk. Tanganku mengepal kuat demi bendungan air mata yang kutahan mati-matian. Tak kuasa sudah diriku melirik tuk melihat apa yang ayah lakukan. Rintihan pilu dari tiap kertas yang terobek sudah cukup menggambarkan suasana.

“Kau tidak hidup dalam dunia khayalan, Rahma! Hidup ini keras! Buang semua imajinasimu! BELAJAR!!” Bentak ayah untuk kesekian kalinya. Aku sontak berdiri dan berlari menuju petak kecil berpintu gorden yang tidak pantas disebut kamar. Kuhempaskan tubuhku dalam kasur tipis di sudut ruangan . Terisak. Menyesali akibat kebodohan yang  sebelumnya kulakukan.

Kenapa tak kusembunyikan kumpulan cerita itu ke dalam lemari, sehingga Ratih tak akan bisa memainkan kertas-kertas itu kesana kemari?? Ayah tak akan tahu. Kejadian pahit yang mematahkan hatiku tak perlu terulang lagi.

Namun, semua terlambat. Mimpi itu kembali terkubur dalam.

***

Tak seperti biasanya, kelas sejarah yang membosankan tiba-tiba berubah menjadi ramai. Bu Ega, guru yang paling lembut di sekolah ini, tampak memberikan sebuah pengumuman tambahan di luar materi pelajaran. Wajar sudah alasan dari antusias anak sekelas yang tak kusut karena bosan.

“Wah! Kalau lomba menulis, si Rahma jagonya, Bu!!” Suara cempreng milik Joy memenuhi seluruh penjuru kelas. Membuat diriku yang mulanya tak terlalu memperhatikan menjadi sedikit terkejut. Satu kali namaku disebut dan itu sudah cukup membuat seluruh pandangan yang lain tertuju padaku.

“Ke, kenapa aku?” Tanyaku terbata.

“Iya, Rah! Kamu suka bikin cerita, kan? Aku pernah baca ceritamu, kok! Bagus!! Buat perlombaan milad sekolah nanti, kamu yang jadi perwakilan kelas kita, ya..?” Imbuh Azka, sang ketua kelas. Lambat laun, satu per satu temanku mengangguk menyetujui usulan Joy.

Aku terdiam. Bingung dengan apa yang harus kulakukan.

Menulis adalah jiwaku. Sejak aku kecil, almarhumah ibu sering menuntutku tuk mengekspresikan diri dengan menulis. Itu jugalah pemicu tumbuhnya rasa percaya diriku. Cukup berpengaruh tuk menjadi penyemangat hidup ketika ibu harus pergi meninggalkanku, Ratih, dan Ayah dua tahun yang lalu.

Tapi, sebagian jiwaku meronta. Tak ingin melukai hati ayah lebih dalam. Tak ingin mengulang kejadian yang belum genap berlalu 24 jam. Malam menyesakkan. Malam menyedihkan di mana ayah menangis hebat, meratapi robekan kertas dari cerpen yang kubuat. Aku paham benar, ayah terlalu dalam memendam luka. Sehingga beliau selalu teringat mendiang Ibu ketika membaca tulisanku yang mirip sekali bahasanya dengan tulisan Ibu.

Alasan kenapa Ayah sangat membenci karanganku.

“Maaf. Aku nggak bisa.” Jawabku pada akhirnya. Tuntas mengakhiri pertanyaan dari wajah-wajah penuh harap.

Aku kembali menunduk. Menghiraukan hiruk pikuk penuh dengan nada kekecewaan. Beberapa celetukan terdengar sedikit menusuk hatiku. Namun, untung saja segera diredakan oleh Azka dengan bantuan Bu Ega yang juga merupakan wali kelas kami. Aku tahu benar bahwa di antara 30 anak di kelasku, hanya aku satu-satunya harapan mereka dalam bidang tulis menulis. Bukan karena apa. Tapi karena temanku yang lain, yang sama hobinya denganku, sudah terdaftar di kategori perlombaan lainnya.

Sesi diskusi pun dilanjutkan. Kupejamkan mataku untuk meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Aku terlalu fokus hingga tak menyadari sama sekali kehadiran sepasang mata penuh makna yang tertuju kepadaku.

***

“Aku tahu kamu mau, Rah.” Satu kalimat sederhana milik Mayla itu menusuk hati kecilku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Tampak Mayla sudah berada tepat di samping kiriku, menarik bangku.

“Mungkin sebagian dari dirimu menolak. Tapi aku tahu, kau pasti ingin mengikuti lomba itu.” Lanjut Mayla. Ia tetap dengan senyum teduhnya yang selalu berhasil menenangkanku. Dibandingkan dengan siapapun, hanya Mayla lah yang benar-benar dapat memahami perasaan maupun kisah kehidupanku yang pelik.

“Benar, kan?”

Hancur sudah tembok pertahananku. Kembali, hati rapuhku tak kuasa menyimpan. Di hadapan Mayla aku kembali terisak.Tanpa banyak lontaran pertanyaan, Mayla mengusap lembut pundakku yang berguncang tak beraturan.

“Manusia boleh berencana, Rahma. Perkara hasil serahkan saja kepada Yang Kuasa. Menurutku, kau tak salah mewarisi bakat menulis ibumu. Itu bukan hal mengherankan . Jadi, menulis saja! Toh, manfaatnya tak hanya mengalir untukmu seorang.” Ungkap Mayla. Aku pun mendongakkan kepala, memperlihatkan wajah sembabku padanya. Kucerna tiap kalimat yang dilontarkan Mayla.

“Tapi, May. Ayahku…” Suaraku tercekat, tak kuasa melanjutkan. Terlalu pedih mengingat kejadian semalam.

“Jangan khawatir, Rah. Ayahmu hanya tengah menyimpan luka. Ia tak sepenuhnya membenci tulisanmu! Aku tahu, kau pun pasti paham akan hal itu. Kita cukup berdo’a agar Allah lekas mencabut kepedihan hati ayahmu. Terlebih, meratap dalam jangka panjang bukanlah hal yang dibenarkan agama kita. Ayahmu juga harus segera bangkit!” Imbuh Mayla. Aku kembali mengusap mata. Mencoba meredakan sisa tangisan.

Mayla benar, semua yang dia katakan benar adanya. Aku sudah cukup lama memahami kondisi keluargaku saat ini, apalagi jika itu menyangkut pada ayah. Tentang pekerjaan, kebiasaan, maupun perasaannya. Benar sudah pengibaratan yang berujar akan kedekatan hati yang lebih dominan antara seorang ayah dengan putrinya.

“Kamu bisa, Rahma! Kamu berhak mengejar mimpi besarmu! Percayalah, apapun yang terjadi nantinya, aku selalu ada di sisimu!”

Lagi, final statement Mayla menyerbukkan semburat haru dalam dadaku. Sontak kurengkuh bahunya erat. Sia-sia sudah upayaku meredakan isakan. Tangisku semakin menjadi. Namun dalam pengertian yang berbeda.

Rahma balik membalas pelukanku. Ia berbisik lmbut di telingaku, “Besok, aku temani kau berbicara pada Azka.”

Aku mengangguk cepat. Berulang kali mengucap syukur atas kehadiran seorang malaikat penenang jiwa seperti Nayla di hadapanku.

“Te.. Terima ka-sih, Mayla.”

***

Matahari menyapa ramah. Kertas krep dan berbagai jenis dekorasi lainnya bertebaran di mana-mana. Lengkap dengan balon warna-warni yang menguji nafsu jemari anak-anak kecil untuk memainkannya. Suasana kali ini benar-benar meriah. Tampak satu balon raksasa dengan pemberat karung berisi pasir di tengah lapangan yang menjelaskan semuanya. “MILAD KE-25 SMA CEMPAKA”. Begitu bunyi tulisan dalam dua sisi balon tersebut.

“Sudah siap mendengar pengumuman?” Godaan Mayla membuyarkan lamunanku. Aku tertawa renyah. Sembari berusaha menghilangkan sisa-sisa kekhawatiran.

“Tenang, Rah… Bukannya ayahmu tidak bisa datang ke sekolah karena urusan pekerjaan?” Seolah dapat membaca pikiranku, Mayla berujar. Aku tersenyum tipis, mengiyakan ucapannya. Lagipula, belum tentu juga aku seberuntung apa yang Mayla pikirkan.

Keep optimis!”

Aku mengangguk. Kembali memfokuskan pandangan ke arah pembawa acara. Mayla menggenggam tangan kananku erat. Menyalurkan aura positif miliknya.

“Baiklah, pengumuman selanjutnya ditujukan kepada pemenang lomba karya tulis! Untuk kategori pertama, juara Harapan II diraih oleh… Najla Naila!”

Nafasku sedikit tertahan ketika nama pertama disebutkan. Mayla kembali bercanda. Dia bilang namaku tak mungkin disebut awal-awal.

“Dan peraih juara pertama, ialah… ” Suara MC tampak menggantung di ujung kalimat. Sengaja memancing rasa penasaran penonton tuk memuncak.

“…….Isabella Permata!!!”

Gemuruh sorak penonton menutupi desah panjangku. Kecewa? Itu pasti. Susah payah ku menulis secara sembunyi-sembunyi dengan pencahayaan lilin di tengah malam agar ayah tak curiga. Namun apa yang kuharapkan ternyata jauh dari kenyataan.

“Hei, kamu gak papa kan, Rahma?” Tanya Mayla. Mungkin dia khawatir melihat kepalaku yang terus menduduk. Perlahan kuangkat kepalaku.

“Gak papa, May. Justru aku yang harus berterima kasih padamu. Terutama untuk seluruh dukunganmu.” Aku mencoba tersenyum secerah mungkin.

“Rahma, aku…,”

“Mohon maaf!” Seruan MC memotong ucapan Rahma sekaligus merebut fokus para penonton. Dengan wajah sedikit bingung ia menerima kertas dan obrolan singkat dengan Pak Doni, salah satu guru SMA Cempaka yang menjadi guru pembimbing tim jurnalistik sekolah.

“Sekali lagi saya mohon maaf! Ternyata ada kesalah pahaman dalam pengumuman pemenang.” Lanjut sang pembawa acara. Aku dan Mayla saling bertatapan dengan heran.

“Dikarenakan adanya satu hal spesial yang mengalihkan perhatian tim jurnalistik sekolah, maka untuk peraih penghargaan terfavorit diraih oleh… Rahma Rahimah!!”

Aku membelalakkan mata tak percaya. Mayla bahkan menutup mulutnya. Lambat laun pun sorak sorai tepuk tangan penonton mulia bergemuruh. Namun kali ini lebih kencang. Seluruh personil teman sekelasku ikut ramai menyorakkan namaku.

“MAJU RAHMA!!!”  Seruan Azka terdengar jelas dari jauh. Aku memandang Azka, ia mengangguk. Dengan penuh rasa bahagia yang memuncak aku pun berjalan maju ke atas panggung kehormatan. Sesekali aku menoleh ke arah Mayla dan teman-temanku di tribun penonton. Tanpa terasa, air mataku meleleh.

“Selamat ya, Rahmah…  Bapak baru tahu kau punya bakat terpendam sehebat ini.” Puji Pak Doni ketika menyambutku di atas panggung. Aku mengangguk sambil sesekali mengusap mataku.

“Dan terkhusus untuk seluruh wali dari siswa terkait untuk ikut maju ke atas panggung dan melakukan sesi foto bersama.” Ucap sang pembawa acara memberi isyarat untuk para wali murid. Satu per satu orang tua pun bangkit dari tempat duduknya.

“Lho, Rahmah, ayahmu?” Tanya Pak Doni. Aku menggeleng.

“Ayah tak bisa datang, pak. Beliau…”

“RAHMAH!!”

Seruan serak basah itu membuatku terkejut setengah mati. Kutolehkan kepalaku secepat mungkin ke asal suara. Tidak mungkin. Ini… adalah suara ayah!

Satu keajaiban lagi yang kutemukan hari ini. Entah karena apa dan sebab angin mana, tiba-tiba ayah muncul dari kerumunan wali murid lain yang berdiri di dekat panggung. Namun kali ini bukan wajah garang yang ia tampakkan. Melainkan wajah penuh dengan air muka bahagia. Matanya terlihat merah. Nampak seperti lebih dari satu jam sebelum ini bulir-bulir air mata lebih dulu melewati pipinya.

Aku tak kuasa menahan isak. Tangisku meledak seiring kedua tangan ayah yang lebih dulu memeluk tubuhku erat. Bisa kujamin, Mayla pun saat ini ikut menangis haru.

“Maafkan ayah, nak. Maafkan ayah yang tak pernah mengerti isi hatimu. Maafkan ayah!!” Pernyataan ayah membuatku semakin tergugu.

Ya Allah… Terima kasih untuk segala kebaikanMu. Setelah sekian lama, akhirnya kau bukakan hati ayahku. Kau hapuskan luka dan kepedihan ayahku.

“Kamu mau memaafkan ayah kan, nak?” Tanya ayah.

Aku kembali mengusap wajah. Benar-benar tak percaya akan satu kajaiban yang telah lama ku nanti dalam dua tahun terakhir. Meski tak memahami inti permasalahan, seketika suasana meriah berubah menjadi haru. Beberapa wali murid tampak menyeka ujung mata. Tanpa terkecuali sang MC, Pak Doni, Mayla, Azka, juga teman-teman yang lainnya.

Kupandang wajah ayah lamat-lamat. Semburat auranya adalah suatu hal yang sangat kurindu. Senyuman hangat dan tatapan yang menenangkan. Tanpa mempedulikan pandangan penonton aku kmbali memeluk tubuh ayah. Kali ini lebih erat. Seakan tak rela bila jiwanya kembali terjatuh.

Hari ini, ayah telah kembali.

“Setelah ini, mari kita tunjukkan pada dunia. Betapa putri ayah adalah penulis hebat seperti ibunya.” Bisik ayah lembut. Aku mengangguk kencang. Merasa beruntung atas lengkapnya kepingan puzzle mimpiku yang sempat menghilang.

“Terima kasih, ayah.” Balasku lirih.

-tamat-

 

Tinggalkan Balasan