Tak Puas Serang Jasmani, Rohani pun Bakal Jadi Sasaran Corona
Kegemparan virus COVID-19 di Indonesia tak kunjung reda, malah semakin panas seiring dengan bertambahnya jumlah korban yang terinfeksi virus baru ini.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tak peduli kota besar atau desa terpencil, rata akan kasus tersebut.
Kebijakan lockdown yang sempat dipilih pemerintah tak berefek besar untuk negara ini. Pembatasan ruang gerak masyarakat dalam beraktifitas justru semakin menyebabkan para pekerja tak mampu bekerja secara maksimal.
Para pelajar pun tak bisa pergi ke sekolah secara normal untuk menimba ilmu. Semua serba online, padahal tak semua materi pendidikan bisa tersampaikan secara sempurna dengan cara tersebut.
Oleh karena itu, beberapa lembaga pendidikan memutuskan untuk tetap ‘memasukkan’ para muridnya walau masih berada dalam situasi yang relatif rawan. Dan salah satu lembaga pendidikan tersebut adalah pondok pesantren.
Keputusan pondok pesantren untuk tetap ‘memasukkan’ santrinya ke pondok menuai banyak kontroversi. Tak hanya dari santri itu sendiri ataupun orang tuanya, bahkan pemerintah dan masyarakat umum ikut menjadi sensitif dengan keputusan yang oleh sebagian pihak dianggap berisiko tersebut.
Ini semua dikarenakan kehidupan pondok pesantren yang tak pernah lepas dari kata ‘berjama’ah’. Walaupun dalam keadaan seperti sekarang ini, masyarakat diwajibkan untuk terus menjaga jarak antar sesama.
Kekhawatiran masyarakat awam juga muncul ketika santri yang berasal dari luar Pulau Jawa menempuh perjalanan menggunakan transportasi umum. Hal ini besar kemungkinan menjadi sebab semakin meluasnya virus CORONA tersebar.
Latar belakang pondok pesantren yang telah berani menerjang semua kekhawatiran tersebut karena setiap manusia tak hanya membutuhkan kebugaran jasmani. Namun kebugaran rohani pun perlu didapat.
Rohani yang sehat dan bugar adalah rohani yang dekat dengan Allah Ta’ala serta senantiasa istiqomah untuk berada di jalan yang lurus. Aktifitas para santri yang berada di rumah kebanyakan bergantung pada handphone, televisi, serta fasilitas-fasilitas duniawi lainnya. Dan secara tidak langsung akan membuat rohani mereka menjadi ‘sakit’.
Sehingga para santri mudah untuk melakukan maksiat dan tak takut lagi akan akibat-akibatnya. Selain itu, mudah pula untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban serta amalan-amalan sunnah lainnya. Bahkan sifat-sifat tercela dalam diri mereka akan mulai bermunculan satu per satu. Jika tidak dihentikan dan terus tenggelam dalam kelalaian, maka hidup mereka akan ‘hancur’.
Karakter kuat ulama pejuang yang diidamkan oleh umat akan hilang bersamaan dengan bergulirnya waktu serta arus deras budaya luar. Selain itu, konsep pendidikan pondok pesantren yang telah sempurna tak dapat disalurkan kembali kepada santri hanya melalui jaringan daring (internet).
Oleh karena itu, tiada lagi kata heran dan ragu dalam menyikapi kebijakan pondok pesantren yang satu ini. Sebab, para kyai serta masyayikh kita tentu telah memikirkan segala hal tersebut secara matang. Merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits serta tak lupa mempertimbangkan sisi baik buruk yang akan terjadi. Hingga akhirnya tercetuslah keputusan besar ini dengan tetap memperhatikan himbauan yang telah ditetapkan oleh pemerintah demi menghentikan penyebaran COVID-19. [Salma Amirotuz]