Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

PENGABDIAN & GAP YEAR

 

 

 

 

 

 

 

 

_KH. Hadiyanto Arief, S.H., M.BSc._

Pengasuh Pesantren An-Nur, Cidokom, Bogor, alumnus Gontor, Sarjana Hukum UGM dan Master Bisnis dari Inggris).

Salah satu ciri khas yang juga sekaligus menjadi sumber keberkahan pesantren adalah keberadaan khidmah/pengabdian dari setiap individu, baik kyai, wakif, guru, karyawan serta santri terhadap kepentingan sesama dan pondok.

Sejak dini, kesadaran akan pentingnya pengabdian tidak hanya ditanamkan, tetapi juga langsung dipraktikkan dalam keseharian santri.

Mengambil lauk, menjaga kebersihan, membantu pembangunan, menanam pohon dan bagaimana santri dilibatkan menjadi subyek bagi mayoritas pekerjaan harian mengelola pondok adalah bentuk pendidikan bagaimana mengabdi tersebut.

Bahkan, dibeberapa pondok seperti Gontor, Darunnajah & Tazakka mewajibkan santri untuk siap mengabdi di masyarakat sesaat mereka lulus. Dimanapun ia ditempatkan dipelosok negeri. Masa pengabdian santri biasanya berdurasi satu tahun. Mereka wajib mengabdi dimanapun tempat yang ditunjuk oleh pondok. Tak hanya di pesantren asal, tetapi di lembaga pendidikan manapun diseantero pelosok negeri. Biasanya ditugaskan untuk membantu pondok dengan mengajar atau mengasuh santri.

Uniknya, dalam khazanah pendidikan modern, hal ini juga sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan program pengabdian seperti yang dilakukan oleh santri juga sebenarnya lumayan populer dalam sistem pendidikan di negara-negara maju.

Selulusnya dari sekolah menengah, banyak murid di Inggris yang tidak langsung melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tidak sedikit dari mereka yang mendaftar jadi relawan mengikuti pogram pengabdian di negara tertinggal. Program seperti ini biasanya disebut _Gap Year_ program.

_Gap Year_ dalam tradisi pendidikan barat, adalah jeda waktu antara lulus sekolah dan kuliah. Diisi dengan hal-hal bermanfaat, seperti mengajar, bekerja, aktivitas sosial, dll.

Banyak perguruan tinggi terbaik dunia, seperti Harvard University, memberikan pilihan untuk menunda kuliah setahun bagi calon mahasiswanya.

Meski konteksnya tidak sama persis dengan di tradisi berkhidmah di dunia pesantren, tapi esensinya kurang lebih sama: mereka menyarankan atau memberikan pilihan ke mahasiswa barunya untuk menunda kuliah setahun.

Beberapa universitas top dunia seperti Harvard, Princeton, Tufts, dan New York University merekomendasikan atau memberikan pilihan bagi mahasiswa barunya untuk menunda kuliah setahun.

Bahkan, Harvard University telah merekomendasikan opsi ini selama lebih dari empat dekade. Mayoritas siswa yang telah mengambil gap year mengaku mendapatkan pengalaman yang sangat berharga ketika gap year sehingga mereka menyarankan semua siswa Harvard untuk mempertimbangkan untuk mengambil gap year juga.

Banyak penelitian yang menunjukkan dampak positif terhadap mahasiswa yang mengambil gap year.
Di Australia dan Inggris, para peneliti menemukan bahwa mengambil gap year memiliki dampak positif yang signifikan terhadap prestasi akademis siswa di perguruan tinggi (Birch dan Miller 2007; Crawford dan Cribb 2012).

Di Inggris dan di Amerika Serikat, anak yang telah mengambil gap year lebih mungkin untuk lulus dengan nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada yang langsung melanjutkan ke perguruan tinggi (Crawford and Cribb 2012, Clagett 2013).

Dari hasil survei ke anak-anak yang mengambil gap year juga demikian, hampir semuanya setuju bahwa _gap year_ telah berdampak positif bagi mereka khususnya dari segi personal.

Program _A Gap Year_ ini bahkan menjadi semacam tradisi wajib bagi keluarga kerajaan disana. Pangeran-pangeran pelanjut tahta kerajaan seperti William dan Harry tak luput dari kewajiban tersebut.

Dalam kesempatan itulah mereka mendapatkan banyak manfaat untuk kehidupan mereka. Beberapa yg terpenting adalah menguatkan tujuan hidup serta mendapatkan perspektif hidup yang lebih nyata dan lengkap tentang hakikat kehidupan.

Hal ini sangat kontekstual dengan pendidikan yang dibutuhkan oleh generasi millenial saat ini. Generasi yang cenderung individualis dan instan karena dimanja dengan segala fasilitas dan kemudahan hidup.

Terutama untuk santri, karena memang santri disiapkan menjadi pemimpin bagi ummat mereka. Pemimpin yang tumbuh dari bawah. Pemimpin yang menguasai masalah hingga ke akar rumput. pemimpin yang menghayati peran sebagai pelayan bagi masyarakat yang mereka pimpin.

Karena pada hakikatnya, pemimpin adalah pelayan kaum mereka. _Sayyidul qowmi khodimuhu._

Cidokom, Jan 2020

Tinggalkan Balasan