Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Renungan Kemerdakaan

Hari itu, hari di mana kami tersibukkan dengan agenda PSB (Penerimaan Santriwati Baru). Terik matahari tak menyurutkan langkah kami untuk ikut terjun langsung. Menertibkan jalanan demi kelancaran lalu-lalang kendaraan para walisantri yang ingin mengantarkan buah hati tercintanya menuju ke pondok. Kami, berempat. Menjadi saksi atas kejadian di hari itu.

Pagi-pagi, jam 07.00 WIB. Kami mulai beranjak melaksanakan tugas kami tersebut.

Jalanan masih sepi, masih lengang. Hanya beberapa mobil dan sepeda motor yang sudah datang. Kami terus berjalan menyusuri gang pondok. Menunggu mobil yang datang untuk ditertibkan agar tak terjadi kemacetan yang berarti.

“Mbak, nang endi?” (Mbak, mau ke mana?) Tanya seorang anak kecil kepadaku. Mau ke sana”, jawabku sembari menunjuk lurus ke depan.

Anak kecil yang bertanya padaku tadi tidak sendirian.  Ia datang bersama dengan kawan-kawannya. Ada sekitar lima sampai sepuluh anak, yang perempuan, maupun yang laki-laki.

Mereka membawa beberapa kardus bekas air mineral. Tapi untuk apa? Untuk bermain kah?

Beberapa mobil datang. Mata anak-anak itu semakin berbinar. Yang duduk, berdiri. Yang berdiri, ingin berlari. Kardus-kardus yang mereka bawa diangkat sejajar dada mereka.

Pak, seikhlase pak! Seikhlase…!” (Pak, seikhlasnya pak! Seikhlasnya….!) , teriak anak-anak itu. Mereka mendekati jendela mobil, menunggu sang pemilik membukanya, lalu mengangkat kardus-kardus itu untuk menadah uang yang dijatuhkan para dermawan lewat jendela mobil.

Seorang laki-laki berbaju biru kotak-kotak menghampiri mereka. Mereka terlihat akrab. Bapak bertubuh sedang berperut buncit itu seakan-akan mengucapkan kata-kata yang menyihir mereka. Agar tetap di sana melanjutkan pekerjaan mereka. Kami dari kejauhan hanya mampu memandang sekilas.

Apa yang kami lihat, kami simpulkan. Meski tak mungkin 100% kesimpulan kami benar adanya.

Kesimpulan kami, bahwa mereka saling bekerja sama. Ada yang membawakan konsumsi, meski hanya berupa air rebusan maupun air sirup. Ada shift giliran jika ada yang lelah atau izin ke tempat lain. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka.

Pagi berubah menjadi siang, matahari semakin berani menunjukkan wajahnya. Anak-anak itu tak surut semangatnya. Mereka tetap dengan gaya mereka sebelumnya. Jika diberi uang, mereka akan berterima kasih sambil bertepuk tangan ria. Jika tidak dihiraukan, mereka akan berteriak, “medite, medite..!” (pelitnya, pelitnya..!). Meski tak sesegar sebelumnya, tapi nampaknya mereka sudah faham mengapa kita berjaga di jalanan. “Mbak iku ngandani mobile” (Kakak itu memberi tahu mobilnya).

Ya, memang benar. Tiap ada mobil yang datang, kami informasikan kepada mereka bahwa setelah ini, akan ada anak-anak yang akan meminta uang kepada para pengguna jalan. Mereka bukan dari pihak pondok, jadi tiada kewajiban untuk memberi.

Begitulah hari itu berjalan, penuh dengan pro dan kontra. Apakah kita dianjurkan untuk memberi mereka uang, atau malah tidak sama sekali alias tidak menghiraukan mereka dan meninggalkan mereka berdiri di bawah terik matahari sambil terus memegangi kotak-kotak kardus itu.

Terlepas dari semua pro-kontra yang muncul, terdapat renungan mendalam yang lebih patut menjadi perhatian kita semua. Sebagai warga negara Indonesia yang bermartabat, bukankah seharusnya kita merasa prihatin atas kejadian tersebut? Memang kejadian itu bukan yang pertama dan bukan pula yang paling utama. Masih ada masalah lain yang menjadi PR kita bersama.

Renungan untuk kita bersama yang hidup di suatu negeri berpenduduk 268.583.016 jiwa. Negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, yang kaya akan hasil alam dan buminya. Negeri kita bersama. Yang sudah 75 tahun membangun diri setelah presiden pertamanya memproklamirkan kemerdekaan di depan masyarakat dunia.

Suatu teguran keras yang mengingatkan bahwa sebenarnya kita belum merdeka. Merdeka yang hakiki, merdeka yang sejati. Merdeka dari belenggu-belenggu yang tak kasat mata, yaitu belenggu ideologi dan belenggu psikologi. Ideologi anak bangsa, apakah ideologi mereka, ideologi kita sudah bebas dari pemikiran sesat liberalisme, komunisme, hedonisme, dan isme-isme lainnya? Psikologi anak bangsa, apakah psikologi mereka, psikologi kita sudah bebas merdeka dari mental rendah dengan embel-embel kasihan, nasib, dan tuna-tuna sosial lainnya?

Jawabannya satu. Belum. Kita belum merdeka. Masih ada penjajah tak kasat mata yang menjajah ideologi dan psikologi anak bangsa kita. Kemudian, pertanyaan selanjutnya. Bagaimana cara kita memerdekakannya? Bagaimana cara kita mengeluarkan bahkan menjauhkan anak-anak kita dari belenggu-belenggu tak kasat mata tersebut?

Jawabannya satu. Agama. Kembali kepada satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah Ta’ala. Agama langit, yang sempurna tanpa cacat, Islam rahmatan lil ‘aalamiin. Kembali kepada kaidah awal kita, di manapun kaki kita berpijak, di situlah kita bertanggung jawab untuk menjunjung Islam setinggi mungkin. Kembali kepada sejarah para pendahulu kita, para santri dan kiai kita. Negara ini merdeka di tangan islam, maka mengembalikan kemerdekaan itu harus dengan campur tangan Islam dan muslimin di setiap bidang kehidupan.

Mari kita mengeratkan genggaman tangan kita bersama demi menyongsong umat Islam dunia, pun Indonesia. Jangan mau jadi penonton, mari kita ikut berkecimpung di medan perjuangan akhir zaman.

Allah selalu adil. Ketika ada yang melenceng maka ada yang lurus meski berbonceng. Beberapa meter jauhnya dari markas anak-anak ‘peminta’ itu, terdapat musholla tempat ngaji anak-anak kecil harapan bangsa. Masih kecil, masih muda. Berjalan dengan memakai sarung pun masih belepotan. Kadang terjatuh, kadang tersenggol. Diantar para ibu dan bapak pecinta umat, pengharap ridho juga surga Illahi.

Selamat Hari Ulang Tahun yang ke-75 tahun, negeriku, bangsaku.

Teruslah maju dan padu asamu.

Harapan itu masih ada.

Tinggalkan Balasan