Sebuah Proses Edisi Guru Para Scklodouska
Bachtiar pratama, lelaki dengan gaya rambut guiff itu menyapu suasana di sekitarnya begitu tajam. Kafe DiscoGrind, baru saja kaki jenjangnya itu menginjak lantai tempat ini, matanya sudah disuguhi suasana dengan cahaya remang-remang dan musik yang memekakkan telinga.
Lelaki itu menoleh pada adiknya, meminta penjelasan, kenapa tempat ini yang dipilihnya, ”Kamu bilang kita bakal bahas kitab, Fajar. Kenapa milih tempat kayak gini?’’
Fajar menyeringai lebar, ”Soalnya nanti pembahasannya pas banget sama suasana di sini bang.”
Hah? Suasana layaknya diskotik ini bisa dihubungi dengan kitab Arab gundul? Bayangkan saja, lampu warna–warni yang tidak terlalu terang berjejeran disetiap sisi langit-langit ruangan, lantai hitam-putih bagaikan papan catur, buffet disalah satu sisi yang menyediakan berbagai botol entah apa itu, dinding yang dipenuhi pigura yang bertemakan hardcore, ada pula konter kopi di mana para barista menunjukkan keahliannya yang dijadikan satu dengan bagian operator yang mengatur musik dan lampu disko.
Hingga Fajar menepuk pundak abangnya itu, ”Tenang bang, kita kumpul dilantai dua kok, aman.”
“Bachtiar! Fajar!”baru saja kedua pria itu sampai, sudah ada tiga pria yang melambaikan tangannya pada mereka.
”Gimana kabarnya bos?” Langsung saja Kenzo menyalami tangan bachtiar begitu kuat, Bachtiar sendiri kembali dengan mode wibawanya sebagai pemimpin pusat perusahaan Pratama Company.
Bachtiar geleng kepala melihat ekspresi Kenzo dan Raden yang begitu bersemangat dengan tempat berkumpul kali ini.
”Gimana kabar anak-anak?” tanya Raden. Bachtiar mengangguk, ”Yah, ada peningkatan, mereka sudah percaya dengan saya dan memanggil saya abang.”
Kenzo tertawa mendengarnya, ”Gua seneng dengernya.” Semuanya menggangguk setuju. ‘’Terus tuntun murid-murid lo ya, walaupun lo sama mereka beda keyakinan.” Ya, anak-anak itu; Elang, Jendral, Murai, Kucai, Sahara, dan terakhir Krisan, putri Nathan Caesar, laki-laki yang tengah duduk bersamanya saat ini dan keenam anak didiknya itu berhasil dipalu hingga pecah kepala batunya itu.
”Gimana hubunganmu dengan keluarga? Mereka sudah tahu apa belum?” Ia menatap Nathan begitu dalam. Pendeta II Gereja Sentiago yang dua pekan lalu mualaf menggeleng tanpa suara. Ini benar-benar sulit dihadapinya, ia belum memberitahukan keislamannya pada keluarga kecilnya, ia tak sanggup. Terutama berhadapan dengan putrinya, Krisan.
”Saya takut. Dulu saya menggelapkan uang jutaan gereja, jangan sampai Krisan mengira saya pindah agama untuk melecehkan agama Islam, seperti saya melecehkan agama Kristen dulu.” Bachtiar mengangguk paham, Krisan memang tidak pernah mau mendengar alasan.
Tidak ada yang membuka suara lagi. Fajar menatap ekspresi wajah orang–orang sekitarnya yang begitu kalut dengan masalahnya masing–masing. Raden dan Kenzo tenggelam dengan dunia gelapnya, yang begitu sulit untuk dilawan, rasanya seperti dikejar sekelompok kanibal, dunia gelap itulah kanibalnya. Nathan dengan keislamannya yang ia sembunyikan dari keluarga kecilnya, apalagi terhadap Krisan yang masih tak percaya padanya. Dan terakhir Bachtiar yang enyah dari dunia bebasnya semenjak ditinggalkan putri kecil nan baiknya, tapi ia sudah nekat mencoba dua pintu ujian sekaligus.
Dua pintu tempat ‘seleksi’ Bachtiar. Satu pintu ia gunakan kekayaan yang digenggam nya untuk bersandiwara di tempat–tempat klub dan diskotik, menawarkan lowongan kerja dengan gaji yang fantastis, yang ‘menghipnotis’ mereka keluar dari aktivitas malamnya.
Satu pintu lagi, perannya sebagai guru yang di khususkan untuk mendidik enam murid dengan seribu catatan masalah di luar sekolah. Kadang Bachtiar harus mengikuti alur mereka, balapan motor dan sebagainya, daripada anak–anak itu bermain di luar, lebih baik bermain dengannya sambil diawasi. Lagi pula, Bachtiar pernah menjadi profesional di bidang ‘itu’. Dan sekali–kali anak didiknya itu juga harus mengikuti permainannya. Satu lagi, Bachtiar harus menyelami kehidupan mereka satu persatu.
“Jangan menyalahkan diri sendiri dong,” seringai Fajar membuat keempat pria dengan setelan jas hitam itu menatapnya. “Maksudnya, ini itu proses, nggak mungkin kalian harus jadi orang paling baik bukan?”
Entah kenapa deretan kalimat Fajar seakan–akan berubah menjadi sihir bagi mereka, menghilangkan sebuah rasa pesimis. Mereka semakin memberanikan diri untuk menaiki deretan tangga berlantai Zamrud. Saking berharganya sebuah perubahan, tapi tak ada yang menyadari betapa berartinya sebuah proses.
Kenzo menatap kosong meja di hadapannya, “Gua bersyukur masih bisa dikasih kesempatan,” ungkapnya bangga. Yah, walaupun mereka bukan berada di lingkungan yang kental agamanya, seperti sebuah komunitas agama Islam ataupun pesantren, tapi mereka sudah beruntung.
“Udah–udah,” Bachtiar seakan–akan memotong paksa topik mereka yang mungkin tidak ada habis-habisnya. “Fajar ayo lanjutin kitab kemarin,” pintanya pada sang adik yang satu–satunya bisa berbahasa Arab di antara mereka. Yang lain segera membuka buku dengan lembaran–lembaran kuning mencolok setipis dua milimeter bertuliskan Arab gundul, Kitab ‘Minhajul Muta’alim’, Fajar menarik napas dalam–dalam.
“Keutamaan orang yang berilmu. Dan Nabi SAW berkata, ‘dana satu orang yang fakih pasti lebih kuat melawan syaitan daripada seribu ahli ibadah yang bodoh.’”
Fajar menerjemahkannya dengan pelan, sementara yang lain menulis artinya dengan telaten. Sesekali Fajar juga menjelaskan apa itu fakih, fasik, dan sebagainya.
“Orang berilmu itu adalah kekasih Allah walaupun dia fasik, dan orang bodoh itu adalah musuh Allah walaupun dia ahli ibadah.” Sekian 30 menit Fajar berceloteh, satu bab pun selesai.
“Jadi..” Bachtiar menatap tajam adiknya, ”Hubungannya sama tempat buka puasa yang kamu pilih ini apa, Fajar Pratama?”
“Hubungannya itu..”
“Eh!!” Bachtiar merasa tercekik ketika lehernya dirangkul Kenzo begitu kuat. “Lo liat itu!” Kenzo menunjuk jendela yang dekat dengan mereka, tepatnya ada pria sedang makan di restoran samping tempat mereka. “Kalau seandainya anak cowok itu anak kyai yang banyak ilmunya terus pernah kuliah di Eropa. Sekarang lo liat, cowok itu udah makan aja sebelum buka puasa.”
“Jadi.. gimana perasasan kalian kalo jadi orang berilmu tapi ibadahnya lalai?”
“Saya merasa beruntung, tapi saya juga malu sudah dipilih sama yang di atas, tapi kok nggak tau terima kasih? Bukankah ibadah itu adalah cara berterimakasih kita?” seru Bachtiar.
“Kalau jadi orang yg berilmu tapi rajin beribadah?” Kenzo tertawa mendengarnya. “Sekarang gua baru ditahap itu. Gua mau kasih yang terbaik. Shalat udah gua kencengin, doa gua lama-lamain, buat sedekah juga gak tanggung–tanggung, bahkan gua niat puasa daud setelah Ramadhan ini, tapi gua masih belum punya ilmunya.”
Kali ini Fajar tertawa, “Sudah aku bilang kan, kita harus bersyukur, bahkan kita sudah berniat untuk berproses menjadi orang berilmu dan rajin ibadah.” Para pria tersebut mengangguk karna bersyukur telah diberi kesempatan.
Oleh
Amirah Luthfiyah
5 Azharie