Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Tak Ada Halangan Dalam Mencari Ilmu

اُطْلُبِ العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلىَ اللَّحْدِ

Kata mutiara ini sudah tak asing lagi kita dengar, tapi maksud dari kata itu sangatlah dalam. Menganjurkan setiap muslim untuk terus menuntut ilmu dari bayi sampai tubuh tak lagi berfungsi. Mati. Lalu, bagaimana jika umur sudah menginjak dewasa dan mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah? Manakah yang harus didahulukan? Belajar? Atau, bekerja?

Menurut Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allimnya, cara yang ditempuh adalah dengan menggabungkan dua kewajiban tesebut. Banyak ulama’ telah mencontohkan bagaimana menyikapi kasus ini, salah satunya adalah Imam Abu Hanifah. Seperti yang telah diketahui, Imam Hanafi adalah salah seorang imam empat madzhab yang hukumnya banyak menjadi pedoman bagi umat manusia zaman sekarang. Tapi tak dipungkiri, ternyata Imam Hanafi pun juga seorang pedagang kain sutra.

Beliau terus belajar, mengulang-ulang pelajarannya walau ketika berdagang. Dengan begitu, dua kewajiban masih tetap tertunaikan. Begitu pula yang dilakukan Abu Hafs bin Alkabir dan para ulama’ lainnya dalam menuntut ilmu.

Hal ini dikarenakan para ulama’ mau menerjang dan mengalahkan rasa bosan, malas, dan semua nafsu yang datang untuk menghalanginya belajar. Walau badan kelelahan, pekejaan menumpuk, kantuk melanda semua itu tak menghalangi para ulama’ dalam mencari ilmu.

Kewajiban dalam thalabul ilmi juga tak bisa dikalahkan hanya karena “kefakiran”. Fenomena kenyataan yang kita hadapi sekarang sangatlah tebalik dengan zaman dahulu. Berapa banyak anak-anak putus sekolah disebabkan krisis ekonomi keluarga mereka? Kedua orang tua yang tak mampu membiayai pendidikan menjadikan anak-anak putus sekolah. Yang paling parah, sebagian dari mereka tak penah mengecap pendidikan sejak kecil.

Mari kita berkaca sebentar kepada Imam Abi Yusuf-salah seorang murid Imam Hanafi yang tekenal dan banyak disebut di kalangan ulama’. Beliau adalah seorang fakir yang tak punya penghasilan untuk membiayai hidupnya. Tapi coba lihat, semangatnya mencari ilmu kepada Abu Hanifah tetap berkobar dan tidak menjadikannya behenti di tengah jalan. Sampai-sampai namanya menjadi lebih tekenal dan terkenang mengalahkan teman-temannya sesama perguruan.

Tak malukah kita? Padahal zaman dahulu tak ada yang namanya beasiswa. Lalu kenapa kita harus kalah dengan mereka? Para ulama’ zaman dahulu ? Sekarang kita punya negara yang mau menyokong, membantu biaya full pendidikan kita di tingkat manapun.

Dari sinilah kita belajar, jika kefakiran tak bisa halangi manusia dapatkan ilmu. Maka sudah sepatutnya bagi orang kaya untuk memanfaatkan hartanya untuk menjadi ahlul ilmi. Karena sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang sholih, dan orang sholih pastinya tak akan jauh dari ilmu. Oleh karena itu, tak ada satupun hal yang bisa menghalangi seseorang dalam menuntut ilmu.

Lalu sekarang, apa yang kita lakukan ketika sudah dapatkan ilmu? Meninggalkannya? Atau menggunakannya? Lagi-lagi Imam Abu Hanifah mencontohkan, bahwa setelah mendapatkan satu ilmu atau setelah paham tehadap suatu ilmu, sudah selayaknya bagi kita untuk bersyukur kepada Allah. Karena Allah-lah yang telah memahamkan kita tehadap ilmu-Nya.

Bentuk-bentuk syukur ini dibagi menjadi empat, yakni: syukur dengan hati (semakin mendekatkan diri kepada Allah), syukur dengan lisan (pengucapan hamdalah), syukur dengan badan (beakhlaqul karimah), dan syukur dengan harta (sedekah).

[Salma Amirotuz]

Tinggalkan Balasan