Tak Malu Mengatakan Tak Tahu
Sabtu, 26 Sepember 2020
Dalam muhadhoroh atau ta’lim pekanan kali ini, Mudir pondok kita, Al-Ustadz KH Ahmad Syakirin Asmui, Lc, MA. mengaji sebuah kitab dari seorang ulama’ kontemporer yang bernama Syeikh ‘Abdurrahman Yusuf Al-Farhan. Buku yang diterbitkan pada tahun 2010 ini berjudul “al-Ulama’ wa ‘Ilmu laa Adri” atau, “Para Ulama’ dan Ilmu ‘Saya Tidak Tahu'”.
Di dalam kitab ini, sang penulis menukil tulisan dari Imam Kholil bin Ahmad an-Nanhwy al-Basry al-Azdary al-Farohidy (100-170 H/718-786 M), sang pencetus Ilmu Al-‘Arudh, salah satu cabang disiplin ilmu Bahasa Arab yang diajarkan di PPDU. Sesuai judulnya, sang syaikh menjabarkan apa maksud dari ‘Ilmu Saya Tidak Tahu’ itu dengan penggolongan manusia menjadi empat tipe.
Tipe pertama (dan yang paling utama) : Orang yang berilmu, dan ia mengetahui bahwasanya ia memiliki ilmu.
Tipe orang seperti ini adalah ulama’ yang sesungguhnya. Karena ia faqih terhadap ilmunya, serta mau berjuang untuk menyampaikan ilmunya kepada manusia. Sehingga ilmunya tidak hanya dipendam untuk kepentingan pribadi, namun juga bermanfaat untuk ummat. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk mengambil ilmu dari golongan ini. Ia tidak asal dalam berfatwa pun faham betul dasar dari ucapan dan perbuatannya. Maka, meluluskan alumni-alumni dengan tipe seperti inilah yang menjadi salah satu tri tekad PPDU di masa mendatang.
Tipe kedua : Orang yang berilmu, dan ia tidak mengetahui bahwasanya ia berilmu.
Bisa dibilang, orang dengan tipe seperti ini adalah orang yang telah melupakan hakikat ilmu. Ia tidak mengamalkan ilmunya, terlebih lagi menyebarkannya. Bahkan, apabila ia benar-benar dengan sengaja menyembunyikan ilmunya, atau menyalahgunakannya, maka Allah Ta’ala tak akan lagi ragu untuk melaknatnya. Na’uudzu billahi min dzaalik. Namun, kita juga berkewajiban untuk mengingatkan orang-orang semacam ini. Karena mungkin, dengan seizin Allah Ta’ala, Dia Yang Maha pembolak-balik hati akan membuka hati dan pikirannya untuk kembali ke jalan yang benar.
Tipe ketiga (ciri-ciri santri) : Orang yang belum berilmu, dan ia menyadari bahwasanya ilmunya masih sangat kurang.
Santri sejati haruslah memiliki sifat ini. Sifat yang juga bisa disebut dengan ‘mustarsyid’ (membutuhkan bimbingan) ini termasuk sifat terpuji bagi para penuntut ilmu. Karena di dalam sifat/tipe ini, mengandung makna kerendahan hati, tawakkal, serta kesabaran dalam menuntut ilmu. Maka, wajib hukumnya bagi seorang ulama’ atau guru untuk mengajari mereka-mereka yang berjiwa ‘mustarsyid’ itu, seperti contohnya para santri PPDU.
Tipe ini juga sangat jauh dari kata ‘sok tahu’, karena jika ia ditanya dan ia tidak tahu jawabannya, maka ia tidak malu untuk mengatakan, ‘saya tidak tahu’. Karena tentu, bila ia justru mengatakan yang sebaliknya, ia akan berdosa dan menanggung dosa orang-orang lainnya apabila yang diucapkannya mengandung kesalahan.
Tipe keempat (seburuk-buruknya tipe) : Orang yang tidak berilmu, dan ia tidak menyadari bahwasanya dirinya masih belum berilmu.
Mungkin, cap ‘sok tahu’ baru boleh disematkan pada tipe orang yang satu ini. Namun, bukan berarti kita harus menjauhi, membenci, dan mengecapnya terus-terusan. Kita hanya perlu menolak pendapatnya secara baik dan benar. Intinya, jangan sampai kita mengambil pedoman perilaku kepada golongan yang satu ini, dan jangan pula menjadi bagian dari mereka.
Mesipun sudah memiliki titel yang hebat dan bermartabat di masyarakat, janganlah hal itu menjadi penghalang bagi kita untuk mengatakan, ‘saya tidak tahu’. Justru, ini menjadi salah satu pelecut bagi diri kita untuk senantiasa menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Daripada enggan mengatakan ‘saya tidak tahu’, lebih baik jika dikatakan, ‘wah, maaf, sepertinya saya belum pernah melakukan riset tentang hal tersebut’, atau, ‘maaf, bapak, ibu, saya masih kurang tahu tentang hal itu’, dan juga kata-kata lain yang menjelaskan kepada sang penanya bahwa kita memang belum mengilmui hal yang ditanyakannya tersebut.
Demikianlah empat tipe manusia berdasarkan ‘kesadaran tingkat keilmuan’-nya. Yang terpenting bukanlah seberapa banyak kita memiliki ilmu. Yang jauh lebih penting adalah, sejauh mana kita sadar dengan kondisi kita sekarang. Apakah kita termasuk orang yang berilmu, ataukah termasuk orang yang masih fakir ilmu? Setelah kita sadari, maka hendaknya kita menunaikan kewajiban-kewajiban kita sesuai tingkatan diri kita masing-masing tersebut.
Selain menjelaskan tentang empat golongan tersebut, sang Syaikh juga menjelaskan apa-apa yang harus dimiliki oleh seorang ulama’. Terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, sudahkah kita memiliki semuanya?
- Keimanan
وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Begitulah bunyi penggalan ayat ketujuh dari Surah Ali ‘Imron. Dari ayat tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa seorang ulama’ seyogyanya memiliki iman yang jauh lebih sempurna ketimbang orang yang tidak berilmu. Lantaran mereka mengimani dengan ilmu namun tanpa syarat. Dan bukti iman mereka adalah nyata, senyata ujian dan cobaan yang ditimpakan kepada mereka terutama saat berdakwah di jalan Allah.
2. Tauhid dan Syahadat
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْعِلْمِ قَآئِمًۢا بِٱلْقِسْطِ ۚ
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). (Ali Imron : 18)
Tauhid dan syahadat adalah pintu pertama bagi seorang manusia yang ingin mengecap manisnya iman dan menyentuh hangatnya Islam. Oleh karena itu, seorang ulama’ tentunya harus benar-benar memahami hakikat tauhid dan syahadat itu sendiri. Yang artinya, perlu pengakuan dari hati, ikrar dari lisan, serta pengamalan dengan anggota-anggota tubuh. Tentunya, dari tauhid dan syahadat itu pula bercabanglah konsep al wala’ wal barra’, ilmu ‘aqidah, ilmu mantiq/kalam, serta cabang -cabang ilmu aqidah yang lainnya.
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ۩
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. (Al-Isra’ : 109)
3. Rasa Empati
Seperti yang telah dibahas di atas, seorang ulama’ sejati ialah orang yang mau berjuang bersama ummat, memikirkan apa yang dipikirkan oleh ummat, mengayomi serta melayani ummat. Seorang ulama’ yang benar-benar mendedikasikan diri untuk berkhidmah kepada ummat karena Allah, pasti sudah biasa baginya untuk menangis di malam hari.
Dan tangisan itu bukanlah tangisan ratapan atau keluhan. Tangisan itu bermakna perenungan atas dosa-dosanya, bahwasanya ia takut kepada Allah dan sangat mengharapkan kasih sayangNya. Prihatin terhadap keadaan ummat namun juga senantiasa berusaha memperbaiki diri demi menjadi qudwah hasanah atau teladan yang baik bagi ummat.
4. Kekhusyu’an
Khusyu’ adalah tunduknya hati kepada Allah Ta’ala, terutama dalam hal ibadah. Sedangkan tunduknya anggota badan disebut dengan khudhu’. Khusyu’ dan khudhu’ sendiri saling berkaitan erat satu sama lain. Oleh sebab itu, seorang ulama’ belum sempurna ibadahnya apabila belum mencapai kekhusyu’an dan kekhudhu’an.
Kekhudhu’an tak akan bisa didapatkan kecuali dengan kekhusyu’an. Kekhusyu’an itu sendiri tak dapat diraih kecuali dengan niat dan hati yang ikhlas. Diperlukan kesadaran diri akan pengawasan Allah yang melampaui ruang dan waktu, yang tak ada satu makhluk pun yang luput dari itu.
5. Rasa Takut kepada Allah
إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Fathir : 28)
Yakni sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama yang mengetahui tentang Allah Swt. Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah Swt. Yang Mahabesar, Mahakuasa, Maha Mengetahui lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Swt. (Tafsir Ibnu Katsir)
Demikianlah kelima hal yang harus dimiliki oleh seorang ulama’ sejati. Semoga kita bisa meneladani sifat-sifat tersebut sembari memperbaiki apa yang kurang dari diri kita. [Jihan Hamida]