Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri

Tujuh Tahun Melukis Pelangi

Tak terasa 7 tahun telah berlalu. 7 tahun penuh makna, penuh kenangan dan pengalaman. 7 tahun bersama orang-orang luar biasa yang bercita luhur berbaik budi. 7 tahun penuh emosi rasa dan ungkapan cinta. Begitu mengagumkan jika direkam ulang di kamera film, namun tak sempat mengabadikannya kecuali hanya dalam bentuk kata-kata.

Selama 7 tahun itulah saya menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Daarul Ukhuwwah Putri 01 Malang. Dengan berjuta warna yang menghiasinya, membentuk gradasi indah berwarna pelangi dan menjadi lembaran paling elok dalam cerita hidup saya.

Saya bukan berasal dari keluarga berlatar belakang pendidikan, bukan pula keluarga yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama. Saya hidup dan besar dengan pemikiran orang pada umumnya, yaitu sekolah untuk mendapatkan ijazah lalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Namun, mindset tersebut seketika berubah saat saya menjalani hari-hari sebagai seorang santriwati di Daarul Ukhuwwah. Mindset tentang kehidupan, tentang pendidikan, tentang agama, bahkan tentang dunia dan segala macam hiruk pikuknya. Semua mindset tersebut menjadi semakin terbuka dan meluas. Menjadikan saya mengerti bahwa kita tidak boleh hanya ‘sekedar’ hidup, atau ‘sekedar’ makan dan minum lalu tidur.

Bukan soal megah bangunannya, bukan pula soal kelengkapan fasilitasnya. Kalau kita mencari dua hal tersebut di Daarul Ukhuwwah, maka mungkin kita harus kembali memutar arah mata angin kompas kita. Mencari lembaga ataupun institusi lain yang bisa menawarkan kemewahan dan kenyamanan demi betahnya ananda saat dititipkan di pondok pesantren.

Karena di Daarul Ukhuwwah, kita diajarkan tentang kesederhanaan. Kesederhanaan yang mana kita tidak hidup di tengah-tengah kenyamanan, sehingga kita keluar dari zona itu. Yakni ketika kita hidup sama dengan gaya hidup rata-rata masyarakat Indonesia. Sehingga yang berasal dari golongan kaya, menengah, maupun ke bawah bisa merasakan rasa yang sama di sini. Tak ada banding membandingkan maupun pamer memamerkan. Yang ada hanyalah berbagi. Yang punya berbagi dengan yang tidak punya, maka jadilah kita sama-sama mempunyai.

Di saat ilmu umum lebih diminati, Daarul Ukhuwwah mengajarkan saya bahwa sejatinya yang lebih penting dari segalanya adalah ilmu agama. Karena dari ilmu tersebut, Rasulullah SAW bisa mendirikan sebuah negara. Padahal dahulu kala, Madinah hanyalah kota pertanian. Yang bahkan tak seorang pun akan mengira bahwa ia akan menjadi ibu kota Peradaban Islam pertama di dunia. Padahal dahulu, Bangsa Arab pun adalah bangsa yang terbelakang, bodoh, dan tak mengenal aturan. Namun tatkala Islam dan ilmu-ilmunya disemai, ia tumbuh menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa maju pada masa itu- seperti Romawi dan Persia.

Daarul Ukhuwwah tidak hanya mengajarkan tentang ilmu agama yang menjadi kunci pembebas manusia dari belenggu komunisme, kapitalisme, hedonisme, dan isme-isme lainnya saja. Tapi Daarul Ukhuwwah juga mengajarkan kami salah satu kunci penakluk dunia lainnya yaitu bahasa. Ya, ini juga merupakan salah satu komponen terpenting apabila kita ingin menjadi bangsa yang lebih maju. Terutama kedua bahasa yang diajarkan di pondok, yakni arab dan inggris.

Bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an dan bahasa ahli surga. Namun terlepas dari itu semua, bahasa arab juga merupakan bahasa keenam dengan penutur terbanyak di seluruh dunia. Dikutip dari laman Kompas.com, setidaknya 274 juta orang di dunia menuturkan bahasa arab dalam kesehariannya serta menjadi bahasa resmi dari 25 negara di wilayah Timur Tengah. Oleh karena itu, tak ada ruginya ketika saya pernah dikenai hukuman oleh Bagian Bahasa pondok setelah melanggar peraturan bahasa. Kalau tidak seperti itu, mungkin sekarang saya tidak akan punya teman chatting dengan menggunakan bahasa arab di media sosial (maaf, yang ini hanya bercanda saja).

Lalu, bagaimana dengan bahasa inggris? Bahasa internasional yang tercatat memiliki penutur paling banyak di dunia. Jumlahnya mencapai 1,13 miliar dan lebih dari 60 negara di dunia menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa resminya. Tentu saja kita pun ditempa untuk bisa menggunakan percakapan sehari-hari dengan bahasa ini, agar tidak kesasar nanti ketika ingin jalan-jalan di Hawaii atau menonton bola di Stadion Old Traffold di Inggris (maaf, yang ini juga bercanda).

Di Daarul Ukhuwwah, saya belajar bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca dan dihafalkan saja. Lebih dari itu, Al-Qur’an adalah petunjuk dan pedoman hidup dari Allah yang bisa mengeluarkan kita dari segala bentuk kegalauan, memotivasi kita, juga menjadi kompas yang menuntun arah perjalanan hidup kita sebagai seorang pengembara di dunia, hingga selamat sampai ke tujuan akhir kita, yakni Daarul Akhirah.

Saya berharap semua santri yang akan mondok, khususnya mondok di PPDU untuk semakin yakin dengan pilihannya. Di awal, mungkin kita masih harus banyak beradaptasi. Seperti saat kita rindu dengan masakan mama dan gurauan papa di rumah, saat masih menjalani peraturan-peraturan baru di pondok dari bangun tidur sampai tidur lagi, dan masih banyak hal-hal baru lainnya. Namun yakinlah, setiap detik kenangan yang terlukis di pondok akan menjadi memori paling indah kelak saat kita lulus dari pondok.

Oleh karena itu, jangan pernah minder untuk menjadi santri atau santriwati. Senantiasa bersemangatlah, karena sejatinya kita sedang dididik untuk menjadi pengemban warisan agung Nabi Muhammad SAW. Menjadi bagian dari agama, dan berbakti kepada kedua orang tua. Bismillah, kita pasti bisa!

Wallahu a’lam bish showab.

[Afaf Zahrah Nur Karimah/Santriwati PPDU Putri 01 Angkatan Pertama – Alumni PPDU Putri 2020-2021]

Tinggalkan Balasan